MENJADI INSANUL KAMIL (MANUSIA SEMPURNA)
PEMBAHASAN
I.1 RUANG LINGKUP KAJIAN MANUSIA BERBUDAYA
a.
Hakikat Manusia Perspektif Budaya
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, pribadi yang tersusun
atas kesatuan harmonik jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Manusia
lahir dalam keadaan serba-misterius. Artinya sangat sulit untuk diketahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa
kelahirannya itu. Yang pasti manusia diciptakan oleh Tuhan melalu manusia lain
(orangtua), sadar akan hidup dan kehidupannya, dan sadar pula akan tujuan
hidupnya (kembali kepada Tuhan)[1].
Maka dari itu, jika kita melihat pernyataan di atas, manusia memang
merupakan makhluk yang unik, serba dimensi dan dapat dipandangan dari berbagai
segi. Misalnya saja dalam ilmu eksakta (Ilmu Kimia), manusia dipandang sebagai
kumpulan partikel-partikel atom yang membentuk jaringan yang dimiliki manusia,
sementara dalam dunia biologi, manusia adalah makhluk biologis yang tergolong
dalam makhluk mamalia. Dalam ilmu sosial (Sosiologi) manusia adalah makhluk
sosial, yang tidak mampu berdiri sendiri, dan manusia adalah makhluk yang
berbudaya, dan masih banyak lagi pandangan ilmu lain terhadap manusia itu
sendiri. oleh karena itu, manusia memang susah untuk ditelaah lebih dalam.
Namun bukan berarti manusia tidak mampu mengenal dirinya dibandingakan dengan
makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, oleh karena itulah dalam diri manusai
terdapat hakekat yang membeda manusia sendiri dengan makhluk lain. Apakah
hakekat manusia itu? Dalam pembahasana ini, ada beberapa hakekat manusia dalam
persepektif budaya yang mampu menjawab seperti apakah manusia itu sebenarnya.
Berikut adalah hakikat manusia:
1.
Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri
dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
Tubuh manusia adalah
sebuah objek yang dapat dirasa, diraba, dilihat dan dalam bentuk wujud yang
konkrit, namun tidak bersifat abadi. Sifat yang sementara membuat eksistensinya
mampu bertahan dalam waktu yang telah ditentukan oleh sang pencipta, lalu
kembali menjadi wujud awal penciptaannya yaitu tanah. Dibalik itu, terdapat
jiwa dalam tubuh manusia. Suatu unsur yang berbanding terbalik dengan tubuh
dalam, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dari medium tubuh. Jiwa bersifat
abstrak. Tidak dapat dirasa, diraba, dan dilihat, namun disifatnya abadi.
Ketika jiwa berpisah dari tubuh, maka jiwa akan kembali kepada sang pencipta.
Tapi bukan berarti jiwa tersebut hancur, namun sebaliknya jiwa akan tetap
abadi. Jiwa adalah roh dalam diri manusia yang fungsinya sebagai penggerak dan
sumber kehidupan manusia. Oleh sebab itulah saat jiwa meninggalkan tubuh, manusia
akan mati.
2. Makhluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lainnya.
Kesempurnaan manusia
begitu terlihat bagaimana ia mampu menata hidupnya. Artinya manusia tahu apa
yang harus dilakukannya karena perangkat dalam yang ia miliki yakni akal. Namun
Tuhan tidak hanya menciptakan itu saja, perasaan dan kehendak pada jiwa manusia
juga menambahkan kesempurnaan manusia sebagi manusia yang beradab dan berakal.
Dengan akal (ratio)
manusia dapat menciptakan imu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari
semakin mampu berevolusi. Tidak diam dalam satu jenis. Ini menunjukkan manusia
dengan akalnya mampu berkembang secara kontinue dan ada selalu ada prose
berpikir manusia. Lalu dalam kehidupan juga manusia mengenal nilai baik dan buruk,
sehingga mampu mempertimbangkan, menilai, berkehendak menciptakan kebenaran,
keindahan, kebaikan, dan sebaliknya. Tidak hanya sebatas akal, manusia
dilengkapi juga dengan perasaan yang mampu menciptakan seni atau nilai estetika
dalam kehidupan manusia. Daya rasa (Perasaan) ini memili dua macam, yakni
perasaan rohani dan perasaan inderawi. Perasaan inderwi adalah ransangan
jasmani melalui pancaindra, tingkatnya rendah dan terdapat pada diri manusia
dan binatan, kemudian perasaan rohani adalah perasaan yang suci lahir hanya
dalam diri manusia misalnya:
a.
Perasaan intelektual adalah perasan
yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Seeorang akan merasa senang atau rasa
ingin tahu terpecahkan apabila ia mampu mencari jawaban itu sendiri, namun
sebaliknya apabila ia tidak menemukannya maka perasaan yang tidak senang akan
timbul karena ketidakberhasilannya dalam menemukan jawaban itu.
b. Perasaan estetis adalah
perasaan yang berkenaan dengan keindahan. Seseorang akan merasa senang atau
hatinya akan merasa bahagia kala ia melihat sesuatu yang indah, sebaliknya
apabila ia menemukan sesuatu yang tidak mampu menarik hatinya maka akan timbul
perasaan kesal atau tidak suka pada suatu hal itu.
c. Perasaan etis adalah
perasaan yang cenderungan pada kebaikan. Seseorang akan merasa jika sesuatu itu
baik bagi dirinya, maupun yang lain, lalu sebaliknya apabila sesuatu itu jahat
atau buruk bagi dirinya maupun yang lain, akan timbul rasa benci.
d. Perasaan diri yaitu
perasaan yang berkenaan dengan harga diri karena ada kelebihan ketimbang yang
lain. Maka apabila seseorang memiliki kelebihan dibandingkan yang lainnya, ia
akan angkuh dan sombong. Sebaliknya juga ketika ia tidak memilki kelebihan,
seseorang tersebut akan merasa minder terhadap yang lain.
e. Perasaan sosial yakni
perasaan yang berhubungan dengan sebuah kelompok, hidup bermasyarakat dan ikut
merasakan kehidupan orang lain. Ketika orang lain mendapatakn keberhasilan,
maka ia akan senang, sebaliknya jika orang lain itu gagal maka ia akan ikut
merasakan kesedihan yang dirasakan orang lain tersebut.
f. Perasaan religius yaitu
perasaan yang mengarah pada kepercayaan atau agama. Seseorang merasakan
ketenangan dan jiwanya merasa tentram ketika apabila ia mampu bertawakal kepada
Tuhan, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
3. Makhluk biokultural, yaitu
makhluk hayati yang budayawi.
Manusia adalah produk dari
saling tindak atau interaksi faktor-faktor hayati dan budayawi. Sebagai makhluk
hayati, manusia dapat dipelajari dari segi-segi anatomi, fisiologi, biokimia, patologi,
genetika, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk budayawi dapat dipelajari
dari segi-segi: kemasyarakatan, kekerabatan, psikologi sosial, kesenian,
ekonomi, bahasa, mata pencarian dan lain sebagainya yang menyakut kehidupan
manusia.
4.
Makhluk ciptaan Tuhan yang terikat
dengan lingkungan (Ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan
bekerja dan berkarya.
Soren kienkegaard, seorang filosof
Denmarkpelopor ajaran “Eksistensialisme” memandangan manusia dalam konteks
kehidupan yang konkrit adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungan
(Ekologi), memiliki sifat-sifat alamiah, dan tunduk pada hukum alamiah pula.
Kehidupan manusia memiliki
3 taraf, yaitu estis, estetis, dan religius. Dengan kehidupan estetis, manusia
mampu menangkap dunia sekitarnya sebagai dunia yang mengagumkan dan
mengungkapkan kembali (Karya) dalam lukisan , tarian dan nyanyian yang indah.
Denga etis manusia meningkatkan kehidupan estetis ke dalam tingkata manusiawi
dan dalam bentuk-bentuk keputusan bebas dan dipertanggungjawabkan. Dengan
kehidupan religius, manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan. Semakin dekat
seseorang dengan Tuhan, semakin dekat pula ia menuju kesempurnaan dan semakin
jauh ia dilepaskan dari rasa kekhawatiran. Semakin dalam penghayatan kepada
Tuhan, semakin bermakna pula kehidupannya, dan akan terungkap pula kenyatan
manusia individual atau kenyataan mausia subjektif yang memiliki harkat dan
martabat tinggi.
Menurut Berger kebudayaan
merupakan totalitas produk-produk manusai yang mnecakup materiil dan
non-materiil. Sementara yang terpenting dari aspek kebudayaan non-materiil
adalah manusia (masyarakat) karena dari mereka terbentuk hubungan yang
berkelanjutan antara manusia dan sesamanya. Kerena merupakan unsur kebudayaan,
masyarakat juga bersifat sebagai produk manusia, sama seperti kebudayaan
non-materiil. Berger menegaskan karakteristik tertentu dari manusia
(masyarakat) ini sebagai berikut: masyarakat terdiri atas manusia yang
melakukan aktivitas. Pola-polanya selalu berhubungan dengan ruang dan waktu,
tidak tersedia di alam, tidak juga bisa disimpulkan secara apapun dari “hakekat
manusia”.[2]
Berger juga menegaskan
arti penting masyarakat. Masyarakat menempati posisi terhormat di
antara formasi-formasi kebudayaan manusia. Ini adalah berkat satu fakta
antropologis dasar lainnya, yaitu sosialitas esensial manusia... ini berarti
bahwa manusia selalu hidup dalam kolektivitas dan bahkan ia akan kehilangan kemanuasiannya jika dikucilkan dari manusia-manusia lainnya.
Oleh karena itu, bisa
dipahami bahwa masyarakat tentunya tidak hanya merupakan hasil dari kebudayaan,
tetapi merupakan kondisi yang diharuskan oleh kebudayaan. Masyarakat membentuk,
membagi, dan mengkoordinasi aktivitas pembangunan-dunia manusia. Hanya dalam
masyarakat, produk aktivitas itu bisa bertahan untuk waktu yang lama.
b. Hakikat Manusia Perspektif Islam
1.
Manusia
adalah makhluk
Dalam
perspektif Islam, dengan tegas menyatakan bahwa manusia adalah makhluk, bahkan
makhluk terbaik dari semua ciptaan Allah yang kesemuanya baik:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(Qs.
At-Tin 95:4)
Allah
Swt menciptakan manusia lebih baik daripada Jin, malaikat, dan Iblis. Meskipun
malaikat dalam penciptaannya adalah makhluk yang paling taat dengan semua
perintah Allah, namun malaikat tidak diberikan suatu hambatan yang berarti
berupa nafsu jasmani maupun nafsu ruhani. Sehingga, ketaatannya menjadi sesuatu
yang biasa. Karena tidak ada yang malaikat perjuangkan dengan keras. Ia
tercipta hanya dengan ketaatannya. Berbeda dengan manusia, ia dibekali akal dan
nafsu yang membuatnya harus berjuang sekuat tenaga dan berkorban memerangi hawa
nafsunya untuk menuju kesempurnaan dirinya. Hal ini yang membuatnya menjadi
makhluk yang terbaik.
Logika Iblis yang menyatakan pendapat subjektifnya di depan Allah
Swt dan para malaikatnya hingga Allah murka terhadapnya sangat keliru. Ia
berkata, “aku lebih baik dari Adam”, dan
“api lebih baik dari tanah”. Dengan nalar,
kita bisa buktikan bahwa tanah selamanya lebih baik dari api. Api bisa mati
oleh tanah, sedangkan tanah ketika dibakar oleh api maka tetap menjadi tanah.
Api bersifat menghancurkan, sedangkan tanah bersifat menyuburkan. Api hanya
dibutuhkan oleh manusia dan tidak dibutuhkan oleh hewan dan tumbuhan. Sedangkan
tanah, dibutuhkan oleh semuanya. Hal ini membutuhkan bahwa Allah Maha Tahu dan
Maha Sempurna dalam menciptakan makhluknya.
Diceritakan
dalam surat Al-Baqarah ayat 31 sampai 33 bahwa ketika Allah memberikan
tantangan kepada para malaikat dan Jin untuk menyebutkan nama-nama semua objek
yang ada. Mereka tidak mampu dan mengakui bahwa hanya Allahlah Yang Maha
Mengetahui. Kemudian ketika Nabi Adam as dipinta oleh Allah Swt, maka Nabi Adam
mampu menyebutkan semua Nama-nama yang diajarkan Allah Swt kepadanya.
Dari peristiwa ini, nampak bahwa pada hakikatnya Allah adalah
pemberi ilmu. Melalui proses awal yang amat rumit yang tidak didasari, manusia
justru dapat mengembangkan dirinya, manusia dapat mengetahui, merekayasa, memprediksi, mengendalikan dan
mengeksploitasi lingkungan, mengurus dan memakmurkan kehidupan, karena
kemampuan akalnyamaka manusia adalah satu-satunya makhluk yang berperadaban dan
berbudaya.
“Dan
sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami
ciptakan.”
(Qs.
Al-Isra’ 17:70)
Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kadar dan
karakteristik tertentu. Kadar dan karakteristik itulah yang membedakan antara
manusia dengan makhluk lainnya. Manusia mempunyai kemampuan belajar yang
tinggi. Dengan segala kemampuannya, manusia diberikan beban dan tanggung jawab
yang tinggi di alam semesta ini. Dengan segala potensi yang ada padanya,
manusia juga sangat mungkin untuk menu kesempurnaan dirinya.
2.
Fungsi
dan jabatan manusia adalah khalifah
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
Khalifah di muka bumi.”
(Qs. Al Baqarah 2:30)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat jahil.”
(Qs. Al Ahzab 33:72)
“…dan Yang menghilangkan kesusahan dan Yang
menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan
lain? Amat sedikit kalian mengingati (Nya).” (Qs. An Naml 27:62).
Tiga dalil di atas sudah sangat jelas
menyatakan bahwa manusia memang memunyai fungsi dan jabatan sebagai khalifah di
muka bumi. Khalifah dalam pengertian ini, bahwa manusia adalah pemegang amanat,
pemakmur bumi, sebagai wakil atau pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan
jalan melaksanakan segala yang diridai-Nya di muka bumi ini. (H.M. Rasjdi,
1972:71)
Namun, terkadang dengan segala gemerlap
kemewahan yang ada di muka bumi ini, manusia dibuat lupa dengan kenikmatan yang
hanya sesaat seperti harta serta hiburan-hiburan duniawi. Dalil di atas telah
diungkapakan sendiri oleh Allah Swt bahwa, manusia itu amat zalim dan amat
jahil, juga sangat sedikit dalam mengingat Allah sebagai penciptanya. Adapun
kelemahan-kelemahan manusia yang lainnya, telah diungkapkan dalam Al-qur’an,
diantaranya adalah:
A. Makhluk yang melampaui batas (Qs. Yunus:12)
B. Zalim (bengis, kejam, idak menaruh belas kasihan, tidak adil, dan
aniaya), dan mengingkari karunia (pemberian) Allah (Qs. Ibrahim:34)
C. Tergesa-gesa (Qs. Al-isra’:11)
D. Suka membantah (Qs. Al-Kahf:54)
E. Berkeluh kesah dan kikir (Qs. Al-Ma’arij: 19-21)
F. Ingkar dan tidak berterima kasih (Qs. Al-A’diyat:6)
Segala kelemahan itu hendaknya menjadi
kesadaran yang harus direnungkan oleh semua manusia. Tidak pantas bagi manusia
yang memiliki derajat tinggi serta tanggung jawab yang tidak mudah dikuasai
oleh sifat-sifat dan perbuatan seperti yang telah kami ungkapkan di atas.
Agaknya, hal ini menjad pertimbangan bagi manusia untuk segera menyadari fungsi
dan jabatan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang tidak lepas dari segala
kekurangan yang selalu menyertainya. Agar bumi ini tidak mengalami kerusakan
dan tentu saja manusia bisa hidup selartas dengan fungsi dan jabatannya.
3.
Tujuan
utama penciptaan manusia adalah Ibadah
“Dan tidaklah kami ciptakan jin dan
manusia, kecuali untuk beribadah (kepada-ku).”
(Qs. Az-zariyat 51:56)
Manusia di dunia dengan potensi dan status
kekhalifahan yang diberikan Allah memiliki tujuan utama yakni ibadah. Ibadah
hanya kepada Allah berarti penghambaan kepada yang berhak, karena Dia yang
paling berhak terhadap manusia. Manusia tidak lagi dijajah oleh kepentingan
lain, kepentingan lain adalah sub tujuan atau bahkan bukan tujuan utama bagi
manusia. Penghambaan yang tertinggi adalah mengakui keesaan Allah dengan
mengakui bahwa Dia saja yang berhak mengatur hidup manusia selain pencipta
manusia. Menjadikan selain Allah berkedudukan sebagai pencipta merupakan
tindakan saingan atau andalan yang mana itu bisa dikategorikan sebagai
perbuatan musyrik.
Allah Swt adalah Sang pencipta (khaliq)
yang memiliki perintah dan larangan yang ditujukan untuk manusia sebagai
makhluk. Maka dari itu, manusia wajib hukumnya untuk tunduk dan patuh terhadap
semua perintah dari larangan Allah Swt. Ketundukkan dan kepatuhan itulah yang
menempatkan manusia sebagai yang menghamba (abid), maka aktivitas
seorang hamba dalam menjalankan semua perintah dan larangan penciptanya adalah
disebut aktivitas ibadah. Dengan demikian, aktivitas seluruh hubungan
antara seorang hamba dengan penciptanya adalah hubungan ibadah. Dengan kata
lain, hubungan antara makhluq dan khaliq adalah akhlaq.
Adapun aktivitas ibadah adalah seluruh
perbuatan hamba, tidak ada aktivitas hamba yang tidak termasuk kategori ibadah,
sebab hubungan hamba dan Tuhan tidak mengenal jeda atau putus walau satu
urusan, walau satu detik. Ibadah meliputi totalitas 100% kehidupan. Dengan
demikian, aturan Allah meliputi seluruh totalitas kehidupan, tidak ada satu
aktivitas yang bebas dari aturan Allah. Ada aturan Allah yang bersifat global,
manusia memiliki kebebasan untuk melakukan rinciannya karena manusia diberi
potensi dan dengan potensi tersebut manusia dapat berkarya dan berkreasi.
Wilyah ini adalah wilayah yang manusia diberikan kebebasan yan memungkinkan
merealisasikan perintah global.
Sebagian lainnya aturan Allah bersifat
detail dan jelas makna dan penunjukannya, manusia seakan tidak diperkenankan
masuk ke dalam wilayah yang bukan otoritasnya. Manusia tinggal melaksanankan
dengan sebiak-baiknya setelah memahami perintahnya. Pada tataran ini manusia
tidak dapat masuk ke dalam wilayah perbatasan antara posisi Allah dan makhluk.
4.
Relasi
Mikro dan Makrokosmos
Manusia pada dasarnya manusia hidup di
dunia tetapi perbuatannya diliputi oleh dua hukum alam kehidupan. Alam pertama,
adalah alam mujbar, yakni alam di mana manusia tidak dapat mengendalikan
sepenuhnya , ia hanya menerima sebagai kepastian. Pada posisi ini manusia tidak
akan diminta pertanggungjawabannya, mislanya: kenapa ia menjadi laki-laki dan
bukan perempuan, kenapa ia menjadi orang Indonesia dan bukan China, kenapa ia
lahir tahun ini bukan tahun depan. Alam kedua, adalah alam mukhayyar, yakni
manusia berada dalam alam yang ia akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat.
Manusia diminta pertanggungjawabannya atas penggunaan potensi yang diberikan
kepadanya, misalnya bagaimana berperilaku, kenapa ia memukul orang, bagaimana
ia menjadi pejabat, dan bagaimana ia menjalankan tugas sebagia seorang suami
maupun seorang istri. Pada alam kedua ini, manusia menyadari tanggung jawab
atas perbuatannya.
1. Perbuatan yang dikuasai oleh manusia (mukhayyar), yaitu perbuatan yang
dapat dilakukan oleh manusia dengan suka rela. Contoh, orang berjualan, makan,
minum dan berpergian. Semuanya dapat dilakukan oleh orang tersebuttanpa dipaksa
oleh siapapun. Karena itu dalam melakukan perbuatan tersebut, manusia kelak
akan dimintai peranggungjawaban oleh Allah.
2. Perbuatan yang menguasai manusia (mujbar, musayyar) yaitu perbuatan yang
dilakukan diluar kehendaknya, baik yang lahir dari manusia atau menimpanyadalam
melakukan perbuatan tersebut, adakalnya manusia terikat dengan nizam
al-wujud (sistem kejagatrayaan atau biasa dikenal sebagai ‘hukum alam’),
seperti jatuh dari atas ke bawah secara tidak sengaja. Seperti halnya, mengapa
seseorang dilahirkan dalam keadaan kulit putih, hitam, punya bapak si A dan
bukan si B, lahir dengan rupa, ukuran tertentu, dan sebagainya. Apa yang
menimpa manusia juga bisa jadi tidak ada kaitannya dengan nizam al-wujud,
seperti ketika ia naik motor dengan baik, ditengah jalan tiba-tiba ada orang
mabuk yang menabrakkan mobilnya.
Relasi mikro dan makrokosmos ini berkaitan
dengan pembahasan yang kita kenal dengan Qada dan Qadar. Perdebatan yang
panjang antara kaum Mu’tazillah, Jabariyyah,sampai Ahlussunnah wal jamaah,
agaknya membuat pembahasan ini menjadi menarik dan menambah khazanah Islam.
Manusia dengan segala potensi yang dimiliki membuat dirinya bebas untuk
berkehendak. Namun, pada saat yang sama ada bagian-bagian yang manusia tidak
bisa untuk berkehendak secara bebas. Hal ini telah kami uraikan di atas. Dalam
prosesnya, Allah Swt tentu saja memunyai rahasia-rahasia yang meliputi rahasia
tentang alam semesta dan sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sebagai
penduduk bumi yang paling bertanggungjawab atas apa yang terjadi dengan alam
semesta.
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar
dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (bagi perjalanan
bulan), supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
(Qs. Yunus 10:5)
Menurut hemat kami, Allah Swt disini telah
memberikan pengetahuan kepada manusia tentang apa yang terjadi sepanjang
kehidupannya di alam semesta. Hal itu, merupakan pengetahuan yang sangat
diperlukan untuk roda kehidupan manusia. Keberkaitan ini akan melahirkan
berbagai misteri yang lambat laun akan terpecahkan oleh segenap potensi yang
manusia miliki. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa, dulu kepercayaan
manusia tentang bulan dan matahari belum seperti yang sekarang kita sepakati
bersama. Namun, di era yang semakin canggih ini pengetahuan tentang matahari
dan bulan itu menjadi penentuan waktu di setiap Negara. Maka, relasi antara
mikro dan makrokosmos itu bertemu antara ruang lingkup manusia dengan segala
potensi yang dimiliki dengan kejadian-kejadian misteri yang ada di alam semesta
ini, serta adanya camur tangan dari Allah Swt.
c.
Manusia Sempurna (Insan Kamil), titik temu antara Islam dan Budaya
Membicarakan manusia sempurna, titik
temunya antara islam dan budaya adalah merujuk kepada Eksistensi manusia
sendiri. Kerena dalam islam dan budaya, sama-sama membicarakan keberadaan
manusia dan bagaimana kedudukan manusia dalam hidup.
Jelas sekali bahwa keberadaan
manusia menjadi tanda tanya dan juga menjadi sebuah perhatian kita, maka tak
aneh bila kita katakan bahwa hampir semua hasli berpikir manusia menghasilkan
jawaban-jawaban yang dapat membantu. Lalu seperti apa titik temu itu?
A.
Tujuan
penciptaan manusia
Allah Swt menciptakan alam semesta ini bukan untuk main-main, bukan
tanpa tujuan. Manusia yang merupakan bagian dari alam semesta ini pun
diciptakan untuk suatu tujuan. Dan
jelas-jelas pada Q.S Al-Baqarah [2]: 31-33) menjelaskan bahwa Allah Swt
menciptakan Adam sebagai manusia pertama yang memiliki kemampuan akal yang
sempurna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Adam adalah manusia pertama
yang memilki nilai-nilai kemanusiaan. Dengan itu, manusia membentuk kebudayaan.
Dengan akal itulah, Allah Swt membekali Adam untuk melanjutkan hidupnya dan
mampu menuntun arah yang diinginkannya tanpa keluar dari jalur yang Allah Swt
batasi. Lalu budaya adalah hasil dari gagasan manusia yang sumbernya dari akal.
Jelas titi temu islam dapat kita baca melalui unsur diciptakannya akal. Akal
sebagai pembeda manusia dengan makhluk lainnya sekaligus sebagai penuntun jalan
hidup seorang manusia.
B.
Fungsi
dan peranan yang Allah Swt berikan kepada manusia
Dalam
hal ini, fungsi manusia adalah sebagai hamba, namun dalam penghambaannya
manusia juga sekaligus khalifah Allah Swt yang berperan sebagai pengolah
(pemakmur) bumi Allah Swt. Lalu dalam proses inilah manusia masuk ke dalam
prose yang lebih dalam lagi yakni dengan menciptakan sebuah kehidupan yang
mengarah pada kesejahteraan diri atau bisa dikatakan pada apa yang ia inginkan.
Maka lahirlah sebuah gagasan atau ide-ide baru yang murni terlahir dari sikap
manusia sebagai pengolah (Khalifah) bumi. Manusia memagang mandat Tuhan untuk
mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Namun mandat itu bersifat kekuasaan,
kekuasaan yang bersifat kreatif. Artinya manusia memungkinkan dirinya
mengelolah mendayagunakan segala yang ada di muka bumi untuk kepentingan
hidupnya sesuai dengan ketentuan Tuhan.
Dengan menunjuk manusia sebagai Khalifah, Allah Swt memberi wewenang dan
kekuasaan pula untuk memanfaatkan seluruh sumber daya yang tersembunyi di
daratan, di lautan, dan angakasa luar. Artinya manusia menciptakan sebuah prose
dalam hidup, yang biasa kita kenal sebagai budaya. Inilah yang menjadi dasar
titik temu antara islam dan budaya dalam menyimpulkan sosok manusia.
Dari
dua pernyataan di atas, insanul kamil dalam islam dan budaya adalah bagaimana
ia hidup dan pemaksimalan fungsi yang telah Tuhan berikan, terutama dengan
melalui proses berpikir yakni akal yang menjadi bukti manusia untuk menuju
sebuah kesempurnaan.
II.2
KARAKTER MANUSIA SEMPURNA (INSAN KAMIL)
a.
Karakteristik Manusia Sempurna Perspektif Budaya
I.
Budaya
dan Manusia
jika kita membahas karakteristik Insan kamil dalam budaya, maka
kita akan mengawali pembahasan dengan kaitan manusia dengan kebudayaan. Secara
sederhana, hubungan manusia dan budaya adalah manusia adalah sebagai pelaku dan
budaya adalah objek yang dilaksanakan oleh manusia[3].
Dalam
sosiologi manusia dan budaya dinilai sebagai dwitunggal, maksudnya walaupun
keduanya berbeda, tapi dalam satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan,
lalu kebudayaan mengatur hidup manusia sehingga keduanya bersifat komplementer.
Dari
sisi lain, hubungan manusia dan budaya dapat dipandang setara antara manusia
dan kehidupan bermasyarakat yang dinyatakan sebagai idealektis, maksudnya
saling berkaitan satu sama lain. Proses ini tercipta melalui tiga tahap yakni:
a.
Eksternalisasi,
yaitu proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya.
Melalui eksternalisasi ini masyarakatmenjadi kenyataan buatan manusia.
b.
Obyektivasi,
yaitu proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan
yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan demikian
masyarakat dengan segala pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan membentuk
prilaku manusia.
c.
Internalisasi,
yaitu proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya manusia
memperlajari kembali masyarakatnya sendiri agar ia dapat hidup dengan baik,
sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat.
Apabila
manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, ia akan terasing
atau tealinasi[4].
Pernyataan Berger mengingatkan bahwa manusia tidak dapat terpisah dari
masyarakat kecuali jika ia ingin terasing. Manusia dan budaya mempunyai
hubungan yang saling berkaitan. Pada kondisi sekarang ini, tidak bisa kita
menyatakan bahwa salah satu dari mereka lebih awal muncul. Analisa keduanya
harus menyertakan pembahasan masalah dan waktu agar penganalisaannya dapat
dilakukan dengan cermat.
Dengan
melihat pembahasan di atas, kita akan menemukan bahwa manusi dan budaya
merupakan satu kesatuan. Insan kamil dalam budaya jelas mengarahkan manusia
pada sebuah proses yang baik. Dengan akal yang terjaga, prose berpikir yang
terjadi serta budaya yang dapat mengatur kehidupan manusia, maka gambaran sosok
yang mengarah pada insan kamil bisa dirasakan. Tapi ini bukan berarti kita
mampu menjadi sosok insan kamil ayng seutuhnya. Budaya yang lahir hanya sebatas
aturan yang mengatur perbuatan manusia, tapi tdak menjamin manusia itu menjadi
sosok yang bisa ditandingkan dengan Rasulullah Saw. Budaya hanya mengatur
sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam budaya itu. Berbeda ketika kita
melihat insan kamil dalam diri Nabi Muhammad Saw yang jelas sekali tanpa aturan
dan hal-hal yang membatasnya, ia mustahil keluar dari sisi kesuciannya. Karena
sifat yang sudah tertanam dalam dirinya serta sifat maksum yang diberikan
padanya.
b.
Karakteristik Manusia Sempurna Perspektif Islam
1.
Manusia
sempurna sebagai tujuan dan penyebab utama adanya makhluk.
Mawlawi menganggap bahwa Nabi umat Islam, Muhammad saw, sebagai
bukti nyata dari Manusia Sempurna. Hal ini didasarkan pada dua Hadis dari
Muhammad saw yang menyakut keberadaan dirinya itu:
(1)
sabdanya yang mengatakan, meskipun aku adalah keturunan Adam, namun aku adalah
nenek moyang Adam; karena itu, Adam dan beberapa nabi yang lain datang setelah
aku.
“karenanya, Mustafa (Muhammad) mengatakan bahwa Adam dan para nabi
yang lain datang di belakang saya dan bergantung padaku.”
Dengan
alasan ini, Rasulullah menyatakan pernyataan yang alegoris, “Kami adalah yang
terakhir dan yang pertama.”
Makna
lain dari pernyataan Rasulullah bisa kita katakan demikian, “jika dalam
penampilan, aku lahir dari Adam, tetapi dalam realitasnya, aku adalah moyang
dari seluruh moyang yang ada.”
(2)
sebuah Hadis Qudsi yang mengatakan, “Jika bukan karena kamu (Muhammad), Aku
tidak akan menciptakan alam.”[5]
Makna dari hadis ini bisa kita pahami bahwa
Rasulullah sebagai penyebab utama diciptakannya alam semesta. Jika Nabi
Muhammad tidak ada (tidak diciptakan) , maka alam semesta beserta semua makhluk
yang ada di dalamnya pun tidak ada. Mengapa? Karena, Muhammad saw adalah wujud
dari manusia sempurna itu. Ia menjadi tujuan sekaligus penyebab utama adanya
makhluk di alam semesta ini.
2.
Manusia
sempurna, sebagai perantara adanya materi, adalah kemuliaan spiritual.
Syair
yang begitu indah dan mempunyai makna yang sangat dalam telah mampu
mengungkapkan perkara ini.
“Quth mirip singa, dan pekerjaannya adalah memburu:
(seluruh) lainnya, (yakni) penduduk (di dunia ini), makan dari sisa
yang ia tinggalkan.”
“langit adalah budak bagi bulan: penjuru Timur dan Barat meminta
roti padanya.”
“Makanan (kita) adalah memakan makanan yang diberikan olehnya:
buah-buahan adalah bibir kering yang kehausan menunggu hujan daripadanya.”[6]
Manusia
sempurna menerima material dan spiritual dari Tuhan kemudian dilanjutkan kepada
makhluk-makhluk yang lain dan oleh karena itu ia memiliki kemampuan untuk
memengaruhi keberadaan makhluk-makhluk itu. Dari syair di atas, menurut hemat
kami, kita bisa melihat betapa manusia
sempurna yang diilustrasikan seperti Quth dan bulan memiliki peran sentral yang
akan menjadi perantara untuk makhluk-maklhuk yang lain. Makhluk-makhluk yang
lain sangat bergantung kepada manusia sempurna. Pasalnya, tidak bisa
ditampikkan bahwa manusia sempurna adalah wakil Tuhan.
3.
Manusia
sempurna dan makrokosmos
Mawlawi
mengatakan bahwa manusia diberikan sejumlah karakteristik. Ia berbeda dengan
makhluk yang lainnya. Salah satu dari karakteristik tersebut adalah bahwa
eksistensinya merupakan tempat ditemukannya semua tipe dari semua eksistensi
yang ada di dunia ini pada levelnya masing-masing. Misalnya, di dunia ini
terdapat berbagai bentuk makhluk materi dan makhluk abstrak, dan kasus tersebut
sama dengan eksistensi manusia. Tentu saja, tidak level kesempurnaan manusia
itu ada pada setiap orang, tetapi level dasar dari level kesempurnaan itu
terdapat pada diri setiap orang-sebuah karakteristik yang tidak dapat ditemukan
pada eksistensi-eksistensi yang lain. Para malaikat, mahkota tuhan, seluruh
jiwa, semua makhluk yang tinggi dan rendah kedudukannya berada pada dirinya.
bahkan, ia lebih tinggi kedudukannya dari semua itu dan keunggulan
eksistensinya sangat hebat dimana seluruh alam ini hanyalah satu level dari
seluruh level yang ada padanya.
“karena itu, pada hakikatnya, engkau adalah mikrokosmos, karena itu
pula, pada realitasnya, engkau adalah mikrokosmos”[7]
Setiap
manusia sempurna yang memiliki keunikan dalam kehidupannya, mengatakan bahwa
dalam dirinya ada sejumlah dunia.
“setiap nabi datang sendirian ke dunia ini: dia dulunya sendirian,
dan dia (masih) maenyimpan ratusan dunia dalam dirinya.”[8]
4.
Tidak
ada waktu kosong dari manusia sempurna
Setiap
saat, alam ini tidak akan pernah kosong dari manusia sempurna. Dalam banyak
kesempatan, ia yang merupakan wakil Tuhan dan lambang keagungan-Nya selalu
membawa kesempurnaan dan rahmat dari Tuhan kepada makhluk sembari mengantarkan
manusia menuju kebenaran. Jadi, mawlawi mngatakan bahwa meskipun kenabian telah
berakhir dengan adanya nabi terakhir, yakni Muhammad saw, namun wilayat
(kepemimpinan) tidak akan berakhir dan manuisa sempurna akan terus hadir di
dunia ini sebagai wali (orang suci) hingg datangnya hari kiamat.
“karena itu, setiap saat (setelah Muhammad wafat) akan muncul
seorang wali (untuk menjalankan kedudukannyasebagai wakil Tuhan): masa
percobaan (bagi manusia) baru akan berakhir setelah datangnya hari kiamat.”[9]
5.
Manusia
sempurna dan berbagai kesulitan
Manusia
sempurna akan menerima apapun yang datang kepadanya, kemurahan atau kemurkaan,
dan sebagainya, dengan senang hati karena adanya cinta yang sesungguhnya pada
kebenaran dan kefanaannya pada Tuhan. Dia mnganggap bahwa apa pun yang terjadi
di dunia ini adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, dan karenba itu, dia tidak
pantas menangis karenanya, bahkan seharusnya dia menikmatinya layaknya
senandung lagu gembira. Seluruh kesulitan dan penyakit, seperti kematian orang
terdekat, hilangnya harta kekayaan, menghadapi fitnah, dan sebagainya, akan
dianggapnya sebagai hadiah dari orang yang tercinta.[10]
Kalau ada kesedihan pada dirinya yang datang dari Tuhan, maka ia akan
menghindari rintihan karena khawatir hadiah tersebut akan hilang. Berkaitan
dengan hal ini, ia bahkan mengatakan:
“oh,
kemurkaan-Mu lebih baik daripada keberuntungan yang besar, dan balasanmu lebih
indah daripada kehidupan”
“ini
adalah api-Mu: bagaimana ia menjadi cahaya-Mu! Ini adalah hari berkabung-Mu,
lalu bagaimana ia menjadi hari raya-Mu!”
“Aku
mengadu, dan aku (masih) takut jikalau dia mempercayaiku dan dari kebaikannya
menjadikan hal itu berkurangnya kemurkaan.”
“Aku
sangat terpikat dengan kekerasan-Nya dan kelembutan-Nya: itu sangat
menyenangkan sehingga saya mencintai kedua bentuk yang saling bertolak belakang
ini.”[11]
Syair
ini sangat jelas menggambarkan bagaiamana manusia sempurna dengan keadaan
bagaiamanapun dan seperti apapun tetap konsisten dengan kesempurnannya.
Bagaiamana tidak, keadaaan yang berduka yang semestinya diratapi, diterima
dengan begitu menyenangkan. Lalu, keadaan yang bahagia yang seharusnya
menyenangkan, diterima dengan menjaga dirinya dari keterlenaan. Dua hal yang
bertolak belakang itu bisa ia kendalikan dengan begitu menakjuban. Sehingga
keduanya akan senantiasa berjalan beriringan seperti dua pilar yang saling
menopang dalam keseimbangan hidupnya.
6.
Manusia
sempurna adalah manifestasi tuhan
Nur
ilahi bersinar pada hati yang menjalani dunia mistik. Melihat dirinya adalah
melihat Tuhan, (ada sebuah hadis dari Nabi Saw. Yang mengatakan bahwa, siapapun
yang melihat diriku, dia melihat Tuhan), taat dan memuji padanya, berarti taat
dan memuji Tuhan. Dengan kata lain, dia adalah sebuah cermin, yang akan
merefleksikan Tuhan, nama-nama-Nya, adan sifat-sifatNya dengan sangat sempurna.
“Ketika
engkau mamandang diriku, maka engkau akan melihat Tuhan: kamu telah
mengelilingi ka’bah dengan keikhlasan.”[12]
“Taat
kepadaku berarti menaati Tuhan yang agung: berhati-hatilah kamu, jangan
berpikir bahwa Tuhan terpisah dariku.”
Buka
matamu baik-baik dan pandanglah diriku, maka engkau akan melihat Nur IIahi pada dirir seorang manusia.[13]
c.
Nilai keunggulan Konsepsi ‘Insan Kamil’ Islam versus ‘Manusia
Berbudaya’
Insanul kamil hanya ada dalam diri
nabi Muhammad Saw karena ia merupakan satu-satunya rasul sekaligus nabi yang
lahir dan diciptakan langsung dari cahaya Allah Swt. Bahkan sebelum bumi ini
diciptakan, Adam dan Hawa diturunkan, nabi Muhammad telah ada sebelum mereka.
Inilah yang menjadi sorotan bahwa hanya Rasulullah Saw yang mampu menjadi
insanul kamil seutuhnya. Ini bisa didasarkan pada penciptaan dan juga bentuk
penciptaan manifastasi tersebut yang langsung dari Allah Swt, artinya sesuatu
akan bernilai kesucian karena langsung dari yang suci. Namun berbeda ketika
kita membicarakan keturunan Rasulullah, yang jelas-jelas merupakan hasil dari
proses manusia sendiri tanpa ada hal spesial yang didapatkan seperti Nabi
Muhammad Saw. Sementara manusa berbudaya adalah aktivitas manusia yang
melakukan aktivitas kebudayaan yanga ada. Dimana kebudayaan itu dapat mengatur
kehidupan manusia, sebab berisikan nilai-nilai penting yang diciptakan manusia
sendiri agar ada sebuah pengaturan hukum dalm kehidupannya. Tapi bukan berarti
orang yang melahirkan ini adalah insan kamil karena mengingat hal yang mereka
hasilkan adalah murni dari proses mereka berpikir dan melalui musyawarah
mufakat secara bersama.
Jika melihat dari perbandingan antara islam
dan budaya, insanul kamil hanya terlahir seutuhnya untuk seorang yang lahir
dari pencipta langsung. Yang dalam islam mengenal sosok Rasulullah, yakni Nabi
Muhammad Saw.
II.3 KIAT-KIAT
MELAHIRKAN INSAN KAMIL
a.
Prototipe Insan Kamil dalam kehidupan Rasulullah dan generasi
penerusnya.
“Demi (Allah)!
Sungguh, telah ada bagi kamu pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagi
orang yang (selalu) mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) Hari akhir,
serta yang banyak berzikir kepada Allah.” (Qs. Al-Ahzab 33:21)
Allah Swt,
sebagai Tuhan semesta alam memberikan contoh model yang paling baik diantara
manusia untuk dijadikan teladan abadi bagi semua umat manusia. Dalam teori
keagamaan Klasik Islam, Sunnah Nabi Muhammad terdiri dari segenap tindakan
(fi’l), ucapan (qaul), dan persetujuan diam (taqrir)-nya atas fakta-fakta
tertentu.[14]
Akhlaknya yang terpuji menjadi nilai normatif bagi generasi demi generasi kaum
Muslim. Disebabkan arti-penting teladan Nabi Saw. Inilah ilmu hadis lambat-laun
menempati kedudukan utama dalam kebudayaan Islam.
Sebuah
hadis adalah catatan tentang ucapan atau perbuatan Nabi Saw, yang diriwayatkan
oleh satu atau beberapa sahabat terpercayanya, yang kemudian menyampaikannya
kepada orang lain dari generasi sesudahnya. Karena itu, para sahabat Nabi
adalah sumber paling penting dalam periwayatan hadis. Sebuah hadis bisa
mengulas suatu masalah ritual, keimanan, dan doktrin, hukuman di akhirat, cara
Nabi dalam makan, tidur, atau memberikan nasihat. Semuanya itu meliputi ucapan
dan tindakan nabi dalam kehidupannya sehari-hari.
Para
ulama juga menghimpun hadis-hadis tematis tentang masalah-masalah tertentu,
misalnya takdir shalat, puasa, haji, atau keistimewaan hari-hari dalam
seminggu. Ada juga yang menyusun Arbain (kumpulan empat puluh hadis) yang
biasanya menghimpun hadis-hadis pilihan yang paling mereka sukai atau yang
dipandang paling bermanfaat.kitab-kitab semacam ini diyakini mengandung rahmat
dan berkah dari ucapan Nabi Saw.
Buku-buku
pegangan teologi secara tepat mendefinisikan sifat-sifat seorang nabi.
Demikianlah, kita bisa membaca dalam kitab sanusiyyah, sebuah
buku-pegangan tentang dogma-dogma yang dipakai secara luas sejak akhir abad
pertengahan: “seorang nabi memiliki empat sifat penting: dia harus jujur (shidq)
dan bisa mengamban amanat (amanah); dia pasti menyampaikan Firman Allah
(tabligh) dan harus bijaksana serta cerdas (fathanah). Mustahil
bahwa dia akan berdusta (kidzb), tidak setia atau berkhianat (khiyanah),
menyembunyikan risalah Ilahi (katman), atau bodoh (baladah).
Maulana
Rumi melagukannya dalam sebuah syair pendek Arab yang indah untuk baginda
Rasulullah Saw:
Hadza habibi,
Hadza thabibi, hadza adibi, hadza dawa’i …
Inilah
kekasihku, inilah tabibku, inilah guruku, inilah obatku ….
Qadhi Iyadh,
salah satu pengagum Nabi, yang sangat
khas dalam keyakinan Muslim, menulis:
Allah meninggikan derajat Nabi-Nya dan
memberinya berbagai kebajikan, sifat terpuji, dan hak istimewa. Dia meninggikan
derajatnya dengan amat mengagumkan, sehingga tak ada lidah atau pena yang
sanggup melukiskannya. Dalam kitab-Nya, allah secara jelas dan terbuka
menyatakan peringkatnya yang tinggi, dan memujinya karena segenap sifat dan
kebiasaan mulianya. Dia memrintahkan para hamba-Nya untuk mendekatkan diri
kepadanya dan mengikutinya dengan patuh. Allah Yang Maha Agung memberikan
kehormatan dan karunia, menyucikan dan membersihkan, yang memuji dan memberi
pahala … Dia memperlihatkan di depan mata kita sifatnya yang mulia, sempurna
dan luhur dalam segala hal. Dia memberinya berbagai kebajikan sempurna, segenap
sifat terpuji, kebiasaan-kebiasaan mulia, dan banyak kelebihana yang
mengagumkan. Dia menunjang pesan-pesannyadengan berbagai mukjizat yang
cemerlang, bukti-bukti yang jelas, dan tanda-tanda yang nyata.
Allah Swt,
berfirman dalam kitab-Nya dengan menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasulullah
Saw adalah juga ketaatan kepada Allah Swt:
“Barangsiapa
menaati Rasul (Nabi Muhammad Saw), maka sungguh dia telah menaati Allah. Dan
barangsiapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu (Nabi Muhammad Saw) untuk
menjadi pengawas mereka.” (Qs An-Nisa 4:80).
Menurut
hemat kami, prototipe Insan Kamil secara sempurna ada dalam diri Rasulullah
Saw. Bahkan, dalam buku Michael Hart yang membahas orang-orang yang paling
berpengaruh di dunia, Nabi Muhammad Saw berada di posisi paling puncak. Selain
itu, dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis sudah sangat mendukung
pernyataan penulis. Adapun dalam generasinya, pada masa perjuangan Rasulullah
Saw memiliki para sahabat yang dianggap sebagai generasi keemasan Islam. Mereka
rela menyerahkan jiwa dan raganya untuk kejayaan Islam dan berusaha meneladani
apa yang diucapakan dan diperbuat oleh Rasulullah dalam sehari-harinya. Dalam
mazhab syiah, pancaran Insan Kamil telah sampai secara sempurna kepada Imam Ali
dan Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Husein hingga kepada keturunannya yang
dikenal dengan dua belas Imam maksum. Sedangkan, dalam mazhab Sunni Abu Bakar
dengan gelar Ashiddiqnya telah menyimbolkan kejujuran, Umar bin Khatab dengan
gelar Al Faruq (membedakan yang haq dan bathil), Utsman bin Affan dikenal
dengan kedermawanannya dan Ali bin Abi thalib dengan keilmuannya. Mereka adalah
pancaran dari Insan Kamil yang dikenal dengan sebutan Khulafaurrasyidin (Orang-orang
yang diberikan kelebihan).
b.
Metode membentuk atau melahirkan manusia berkarakter Insan Kamil
perspektif pendidikan.
Fungsi pendidikan sangat sentral dalam humanisasi. Pendidikan dalam
hal ini adalah pendidikan islam yang meletakan kedudukan manusia sebagai subjek
dalam proses pembinaan dan potensi (fitrah) bawaannya.
Proses pendidikan, berusaha untuk melatih sensinbilitas manusia
(peserta didik) sedemikian rupa, sehingga perilaku mereka dalam kehisupan,
langkah-langkah dalam keputusan, serta pendekatan terhadap semua ilmu
pengetahuan diatur dan didasarkan pada etika islam. Mereka akan terlatih dan
secara mental yang sangat disiplin sehingga pengetahuan yang dimliki tidak
hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu intelektual atau untuk manfaat yang sifat
duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk rasional, makhluk berbudi,
bermoral, dan spiritual dalam kehidupannya secara menyeluruh bagi kehidupan
bagi kesejahteraan bagi masyarakat dan umat manusia.[15]
Proses pendidikan berupaya mengembangkan manusia agar memiliki
pengetahuan, keterampilan, spiritual, dan berpikir rasional. Artinya, proses
pendidikan akan menghasilkan manusia yang beramal Illahiah sebagai manusia yang
unggul atau Insan kamil.
c.
Tahap- tahap proses pembentukan atau melahirkan Insan kamil
perspektif pendidikan.
Dalam pembahasan ini, penulis akan membahas bagian sub bab dari
kiat-kiat melahirkan Insan Kamil dengan pendidikan berkarakter yang meliputi
tiga unsur. Adapun unsur tersebut meliputi unsur jasmani, unsur rohani, dan
unsur nafsani.
1.
Unsur
Jasmani
Sebagaimana kesempurnaan sisi rohani manusia, sisi jasmani manusia
merupakan hasil ciptaan Allah yang paling baik dinandingkan makhluk lainnya.
Ibn katsir menyebutkan bahwa rupa dan bentuk manusia adalah yang terbaik.[16]
Jasmani adalah unsur biologis manusia yang menjadi wadah bagi sisi
rohani yang memberi daya hidup. Jasmani tidak kekal. Ia akan menjadi mayat yang
tidak lagi dapat bergerak seperti patung. Agar jasamani tidak sakit, diperlukan
berbagai pemeliharaan, seperti makanan, minuman, istirahat, olahraga, dan
lain-lain. Jasmani terdiri atas unsur biologis, seperti alat indera, sistem
saraf, tulang, daging, jantung, darah, dan lain-lain.
Indera
adalah potensi yang dimiliki manusia yang menjadikannya makhluk dengan
kesempurnaan yang lengkap. Indera penglihatan. Pendengaran, penciuman,
pengecapan, dan peraba, tidak hanya menjadi pelengkap pada diri manusia, tetapi
seperangkat atribut yang dapat mengantarkan manusia untuk mengembangkan dan
memberdayakan potensia kemanusiaannya.
2.
Unsur
Rohani
Dalam bahasa Indonesia, istilah rohani menggunakan makna roh
rohani. Dalam percakapan sehari-hari, rohani memiliki banyak arti. Ada yang
mengatakan dengan jiwa, nyawa, spirit dan lainnya. Dalam bahasa inggris, Rohani
diartikan sebagai spirit (spiritualitas): kata yang merujuk kepada kondisi
keberagaman atau kebertuhanan seseorang.[17]
3.
Unsur
nafsani
Nafs atau jiwa, mencakup kemauan dan naluri. Kekuatan yang
mebekerja dengan sadar atau tidak sadar. Kaekuatan yang dapat menerima petunuk
akal dan dapat menuruti ajakan naluri rendah hawa nafsu adalah kekuatan Nafs
atau jiwa. Pada unsur inilah, sebagai makhluk psikologis, manusia memiliki
ragam emosi, akal, pikiran, dan hawa
nafsu yang menggerakan perilaku manusia ke arah yang positif maupun negatif.[18]
Unsur
nafsani merujuk pada aspek kejiwaan manusia. M.. Quraish shihab menyatakan
bahwa nafs dalam Al-quran memunyai beberapa makna, salah satunya adalah yang
terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku. Istilah nafs yang
jamaknya anfus, dan nufus diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi (person), diri
(self), hidup (life), hati (heart), pikiran (mind).
Manusia yang terdiri atas unsur jasmani, rohani, dan nafsani yang
menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna di muka bumi. Manusia memiliki
kebebasan memilih, perilaku yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang
salah. Oleh karena itu, manusia dibekali oleh akal dan hati. Unsur-unsur yang
ada pada manusia membuthkan tumbuh kembang yang sehat supaya bisa menjalankan
fungsi manusia sebagai khalifatul fil ardi. Proses tumbuh kembang
manusia dapat dicapai dengan optimal melalui pendidikan yang adapat
mengembangkan segala unsur dan potensi yang ada pada dirinya.
Kecerdasan spiritual: upaya perbaikan diri.
Kecerdasan spiritual sangat penting adalam kehidupan, apalagi dalam
dunia pendidikan. Kecerdasan spirituala adalah kemampuan untuk memberikan makna
pada setiapa perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah yang bersifat fitrah
menuju manusia yang seutuhnya yang memiliki pola pemikiran tauhid serta
berprinsip “hanya karena Allah”.[19]
Kecerdasan
spiritual adalah kecerdasan jiwa. Ia dapat membantu manusia menyembuhkan dan
membangun dirinya secara utuh. Yang kemudia, memberikan kemampuan untuk
membedakan yang baik dengan yang buruk, memberi manusia kemampuan untuk
emnyesuaikan dirinya dengan aturan-aturan yang baru. Kecerdasan spiritual ini
berada pada bagian diri ynang paling dalam yang berhubungan langsung dengan
kearifan dan kesadaran yang dengannya manusia tidak hanya mengakui nilai-nilai
yang ada tetapi manusia secara kreatif menemukan nilai-nilai yang baru.
Setiap
manusia pada prinsipnya membutuhkan kekuatan ini karena kebutuhan spiritual
merupakan kebutuhan untuk mempertahankan atau menebalkan keyakinan dan memenuhi
kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan, menjalani
hubungan, dan penuh rasa percaya kepada sang pencipta.
BAB
III
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
1.
Insan
kamil dapat dipandang melalui ruang lingkup agama dan budaya. Banyak hal-hal
yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, karena antara agama dan budaya
adalah dua unsur yang saling berkaitan. Artinya memang kedua unsur tersebut
menjadi sorotan yang tidak bisa diambil dalam sisi yang mana pertama kali harus
diutamakan, tapi bagaimana kedua unsur itu mampu mengantarkan pada insan kamil
yang ada dalam dua pandangan tersebut.
2.
Dalam
menelaah lebih dalam mengenai manusia sempurna, ada beberapa yang harus kita
perhatikan terutama dalam mengenal karakteristik manusia sempurna dalam
perpektif budaya dan agama islam.
3.
Setiap
manusia berpotensi menjadi insan kamil, namun dalam batasan yang tidak bisa
disamakan dengan Rasulullah. Artinya insan kamil dilahirkan dengan mengarahkan
pada sifat-sifat yang penuh kebaikan dan bukan menjadi manusia sempurna sama
dengan Rasulullah. Dalam hal ini, kita mampu melahirkan manusia-manusia yang
berahlaqul karimah melalui pendidikan. Pendidikan berkarakter dan berbasis
islami.
III.2
Saran-saran
Diharapkan
para generasi mampu menjadi manusia sempurna yang memiliki sifat yang berkaca
pada Rasulullah. Artinya berusaha menjadi manusia yang baik baik secara
perbuatan, ucapan dan tingkah laku.
DAFTAR
PUSTAKA
Purwanto, yadi, 2007, Psikologi Kepribadian, Bandung: Refika
Aditama.
Schimmel, Annemarie, 2012, Cahaya Purnama Kekasih Tuhan, Bandung:
Mizan Pustaka.
Ahmad Kamaluddin, Undang, 2013, Filsafat Manusia, Bandung: Pustaka
Setia.
Mohsen Miri, Seyyed, 2004, Sang Manusia Sempurna, Jakarta: Teraju
Mizan
Nugroho, Widyo dan Muchji, Ahmad, 1994, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta:
Gunadarma
[1] Undang
Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia: Sebuah perbandingan Islam dan Barat,
halaman 13.
[2] Berger,
The Sacred Canopy: Element of a sociological theory of religion, (New York:
Anchor Books 1969), halaman 7
[3] Widyo
Nugroho dan Achmad Muchji, Ilmu Budaya Dasar, hal 28.
[4] Berger
dalam terjemahan M. Sastrapratedja, 1991
[5] Ibid,
vol. 4, bait ke 525-27
[6] Ibid.
Vol. 2, bait ke 97
[7] Nicholson,
vol. 5, h. 31
[8] Matsnawi,
vol. 4, bait ke 521. Lihat pula Nicholson, vol. 1, h. 161
[9] Matsnawi,
vol. 4, bait ke 2005. Lihat pula Nicholson, vol. 2, h. 161
[10] Ibid.
Vol. 2, bait ke 815.
[11] Ibid.
Vol. 2, bait ke 1308
[12] Ibid.
Vol. 1, bait ke 1566067, 1569-70
[13] Ibid.
Vol. 2, bait ke 2247-49
[14]
Dan Muhammad adalah utusan Allah, Annemarie Schimmel. Hal. 45.
[15]
http://ahmadsamanteho.wordpress.com
[16] Ibn
katsir, tafsir Al-qur’an Al azzhim, jilid 4, (Beirut: Dar el –fikr, 1985), hal
480.
[17] Ibn
sina, Psikologi Ibn Sina, (terj) Irwan Kurniawan, (Bandung:Pustaka Hidayah,
2009), hal 82-88
[18] A.E
Afifi, physical philoshopy of muhyiddin Ibn Arabi, (terj) (jakarta:gaya media
pratama, 1989), hal 106
[19] Ary
Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual Esq,
cet ke-1, (jakarta:arga 2001), hal 57.