Menelusuri Keilmuwan Imam Al-Ghazali

on Monday, April 6, 2015
PEMBAHASAN
A.    Perjalanan Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan pada 450 H/1058 M. Ayahnya seorang penenun wool (ghazzal) yang kemudian turut memberikan julukan Al-Ghazali.[1] Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (w. 1126) dititipkan kepada seorang sufi. Dari sini juga Al-Ghazali belajar Al-quran dan Hadis, mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah dan menghapal puisi cinta mistis.[2] Namun tidak berlangsung lama karena masalah ekonomi, ia pun dikirim kembali ke sebuah madrasah tempat dia pertama kali belajar fiqih dari Ahmad Al-Radzkani semasa ayahnya masih hidup dulu.[3]
Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Thus kemudian dilanjutkan di Jurjan. Ia belajar dalam bidang hukum (Fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili (1015-1085 M) sebelum berusia 15 tahun.[4] Pada usia 17 tahun ia kembali ke Thus, sebelum usia 20 tahun dan tiga tahun menuju itu, Al-Ghazali pertama kali menyusun karyanya yang diberi judul al-Mankhul min ‘ilm al-ushul (Ikhtisar Ilmu Tentang Prinsip-prinsip), membahas metodologi dan teori hukum.[5]
 Lalu ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk kembali mendalami ilmu fiqih juga ilmu teolog dari seorang Al-Juwaini (1028-1085 M). Dimana Al-Juwaini merupakan tokoh yang berperan penting dalam mengangkat dunia keilmuwan teolog Asy’ariah. Karena kehebatan Al-Ghazali dalam mendalami ilmu dari seorang gurunya itu, ia kemudian menjadi asisten sampai sang guru wafat (478/1085 M).[6] Menurut Tajuddin Al-Subki (w. 1379)[7] mengatakan bahwa Al-Juwanini adalah orang yang pertama kali pula memperkenalkan kepada Al-Ghazali mengenai filsafat, termasuk logika dan filsafat alam dalam ranah disiplin teolog. Selain mendalami ilmu fiqih dan teologi, selama di Nisabur Al-Ghazali juga belajar sekaligus mempraktekan ilmu tasawuf di bawah bimbingan Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084), seorang tokoh sufi dari Thus, merupakan murid dari Al-Qusyairi (986-1072 M).
Pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-Mulk  (1063-1092 M), wazir dari Sultan Malik Syah 1 (1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad.[8] Undangan dan permintaan itu diberikan kepada Al-Ghazali menurut Osman Bakar karena memang kekuasaan saat itu berada di bawah kekuasaan Bani Saljuk (1037-1194 M) yang bermazhab Syafi’i dan menganut teologi Asy’ari (874-936 M). Hal ini juga dipengaruhi oleh kepentingan para politisi kala itu untuk tetap memberikan pertahankan kuat terhadap kelompoknya sekaligus kedudukan yang sedang berkuasa. [9]
Selama di Baghdad inilah Al-Ghazali berhasil menyelesaikan kajian terkait tentang filsafat, teolog, ta’limiyah dan juga tasawuf yang menjadi ciri khasnya sampai sekarang. Di Baghdad pula, sang pemikir Islam ini secara produktif menulis banyak karya sebagai sumbangsihnya kepada dunia islam. Namun dalam perjalanan itu, Al-Ghazali mendapati masalah dari keempat ilmu yang dipelajarinya. Dalam hal ini ia dikatakan mengalami krisis epistimologis hingga membuatnya harus mengundurkan diri dari jabatan yang sedang didudukinya. Secara khusus krisis itu merupakan krisis dalam menentukan  hubungan yang tepat antara akal dan intuisi intelektual. [10]Sebagai pelajar muda, Al-Ghazali dibingungkan oleh pertentangan antara kehendak akal di satu pihak sehingga membuat dia ragu akan kebenaran yang ditangkap oleh indera dan data rasional.
Dari sinilah, prilaku dan sikap pengasing Al-Ghazali pun dimulai selama 10 tahun, ke Damskus, Yerusalem, Makkah, ke Damaskus lagi dan akhirnya kembali ke tempat awal, yakni Baghdad.[11]Al-Ghazali menyatakan bahwa di terbebas dari masa krisi itu karena dari cahaya (nur) yang disusupkan Tuhan ke dalam dadanya, bukan melalui argumen-argumen rasional atau bukti rasional. Dari sini lahir sebuah teori bahwa intuisi intelektual bersifat superior terhadap akal. [12]
Setelah lama dalam pengasingan spritual, Al-Ghazali meyakini bahwa kaum sufilah yang dapat menempuh jalan menuju Tuhan secara benar dan langsung sehingga ketika itu pula membuat sang filosof ini mulai memikirkan dekedensi moral dan religius para kaum muslimin saat itu. Dari hasil pergulatannya itu, Fakhr Al-Mulk, penguasa Khurasan (1095-1113 M) meminta Al-Ghazali untuk mengajar di Nisabur (1105 M). Akan tetapi keberadaanya tersebut tida berlangsung lama, hanya sekitar 5 tahun dan kemudian ia pun kembali lagi ke daerah asalnya, Thus. [13]
Setelah kembali ke Thus, dari sini Al-Ghazali mendirikan sebuah madrasah dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para sufi. Ia pun menghabiskan sisa hidupnya sebagai pemgajar dan guru sufi. Pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M ia meninggal dunia dalam usia 53 tahun.

Metodologi Studi Islam (Studi Ritual dalam Islam)

on Monday, September 29, 2014
Latar Belakang
               
Setiap agama memiliki sebuah ritual yang berbeda. Ritual dalam pengertian ini tidak diartikan serta merta pada aktivitas negatif yang kita kenal sebagai dampak dari keyakinan hal-hal yang berbau mitos belaka. Namun, kita melihat sisi yang berbeda dan memahami makna ritual itu dengan sebuah aktivitas hidup yang kita jalani. Ritual-ritual tersebut dalam kehidupan ternyata memiliki sebuah kontribusi besar dalam kehidupan manusia. Ritual-ritual yang diciptakan dan dijadikan sebagai aktivitas membawa manusia pada sebuah puncak ketenangan jwa, keamanan, rasa nyaman dan lain sebaginya. Tergantung siapa yang menjalami ritual tersebut.
Dalam pembagainnya ritual memiliki beberapa aspek yang harus kita perhatikan dan telaah lebih jauh. Seperti Shalat, zakat, puasa dan lain sebaginya adalah bagian dari ritual yang sebenarnya luput dari konsep pemahaman kita. Jamaah Ddzikir, jamaah tabligh, memperingati hari-hari besar islam atau pun yang lainnya juga termasuk ke dalam bentuk ritual.  Memang tidak bisa dipungkiri bahwa ini adalah kesalahan dalam istilah sekaligus kita menganggap bahwa istilah ritual yang kita pahami di luar adalah ritual dihubungkan dengan hal mitos.  Kata ‘ritual” memiliki pengertian sesuatu yang berkenaan dengan ritus. Dari pengertian ini terlihat bahwa ritual yang dimaksud adalah segala tindakan yang berhubungan dengan agama. Apakah itu upacara, ibadah, atau aktivitas lainnya, yang memang benar-benar membawa sebuah kesaksaralan bagi pengikutnya.[1]
Paradigma pemahaman ini pula yang kemudian membuat para peneliti islam mengabaikan urgensi kajian islam dalam ritual. Dan malah beberapa peneliti seperti Frederick M. Denny dan William R. Roff mengangkat studi kajian islam tersebut. Oleh sebab itu, pada makalah ini akan memaparkan mengenai kajian islam yang dilakukan oleh mereka. Pembahasan ini pula didasarkan pada kesalalah kita dalam melakukan studi keislaman yang hanya didasarkan pada hal-hal yang bersifat luas, sementara hal-hal yang dominan kita lakukan kurang untuk diperhatikan.
Diharapakan setelah pembahasan ini mampu memberikan kita sebuah ide baru dan masukan terutama bagi kaum pengkaji islam untuk benar memperhatiak setiap sudut dan sisi dalam islam. Sehingan konsep studi islam bisa dilakukan dalam segala aspek, terutam untuk hal-hal yang memnang sudah intim dalam kehidupan.

Ulumul Qur'an ( Al-qur'an dan Sahabat-sahabatnya)







PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang

Al-qur’an sebagai kita suci umat islam adalah sebuah amanah besar yang dititipakan dan itu harus dijaga. Dijaga bukan hanya dalam sebuah perlindungan fisik semata, akan tetapi juga dengan non-fisik. Artinya salah satu bentuk kita menjaga Al-qur’an adalah dengan mempelajarinya baik itu secara kandungan, tafsiran, atau pun metode lain sebagainya.
Sebagai mufassir adalah sebuah kewajiban mendalami sebuah kalam Allah karena didalamnya begitu banyak misteri yang tersimpan. Dengan misteri inilah manusia dapat menelaah, menggali, merenungi dan mencari apa dibalik ikatan-ikatan ayat per ayat tersebut. Hingga nantinya benar-benar mampu dijadikan sebagai dalil yang kuat terhadap pelecehan kandungan Al-quran. Sebagaimana Al-qur’an dijadikan pedoman hidup sekaligus hukum bagi umat islam.
Selain Al-qur’an, ada pula hadist yang dijadikan sumber hukum bagi kehidupan muslim. Hadist yang ada merupakan bentuk keberadaan nabi serta para pengikut-pengikutnya. Yang kemudian di dalamnya berisikan beberapa hukum-hukum yang tercatat sebagai aktivitas di masa islam. Oleh sebab itulah, pembahasan mengenai Al-qur’an dan sahabanya merupakan titik fokus yang akan dibahas pada makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
 Faktor Pendorong Mempelajari Al-qur’an
          Al-qur’an adalah kitab suci sekaligus penuntun umat islam menuju pada segala hal kebaikan. Peradan islam yang dulu pernah berjaya merupakan sumbangsih dari para pendahulu karena belajar dari Al-qur’an. Sifatnya yang universal memberikan ruang manusia untuk menelaah, mendalami, mencari tahu dan meneliti interprestasi Al-qur’an dalam kehidupan manusia.
          Jika kita melihat pada judul yang makalah ini yakni dorongan untuk mempelajari Al-qur’an jelas kita akan mencoba melihat dari sudut padangan urgensi, manfaat dan tujuan dari mempelajari Al-qur’an. Karena dengan melihat sisi tersebut, maka bisa kita simpulkan bahwa tujuannya dapat memberikan sebuah kontribusi besar bagi pelajarnya. Ini artinya kegiatan yang dilakukan tidak mengundang kesia-siaan semata.
          Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa tujuan, manfaat dan urgensi dari mempelajari Al-qur’an? Jawabannya akan kami jelaskan satu per satu agar kita dapat melihat dari sudut pandangan mana yang kita inginkan.

A.    Tujuan dan Kegunaan mempelajari Al-qur’an           
          Dalam mempelajari Al-qur’an jelas ada tujuannya. Dalm hal ini ada dua macam bagian untuk melihatnya. Pertama, kita melihat dari tujuan internalnya. Lalu yang kedua, kita melihat dari tujuan eksternal.

          Tujuan Internal mempelajari Al-qura’an seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Ali al-Shabuni adalah untuk memahami kalam Allah Azza wa Jall, menurut tuntunan yang dipetik dari Rasullullah SAW. Berupa keterangan dan penjelasan, serta hal-hal yang dinuklikan para sahabat dan tabi’in sekitar penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-qur’an, mengenali cara-cara mufassirin berikut dengan kepiawaian mereka dalam bidang tafisr serta persyaratan-persyaratan mufassir dan lain-lain yang memiliki hubungan dengan ilmu ini.[1]

          Adapun tujuan Eksternal dari mempelajari Al-qur’an adalah sebagai benteng kaum muslim dari kemungkinan-kemungkinan usaha pengaburan Al-qur’an yang mungkin saja akan dilakukan oleh orang-orang tidak beriman. Dan bisa jadi adanya kaum orientalis yang memiliki sebuah tujuan untuk membawa pemahaman penyesatan terhadap umat. Sehingga dengan mempelajari Al-qur’an, seorang muslim atau kaum muslim itu sendiri dapat memahami kandungan dari ayat-ayat suci yang tehimpun tersebut. Lalu akan membuat kaum muslim kokoh dalam pendirian mengenai keaslian dan keabadian Al-qur’an sebagai ktab suci umat muslim.

          Secara umum juga ada tujuan mempelajari Al-qur’an yakni Al-quran bisa dijadikan sarana menggali ilmu-ilmu. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam ayat-ayat Al-qur’an telah lebih dahulu mengajarkan manusia dalam bidang-bidang ilmu. Contohnya dalam bidang ilmu Biologi. Ayat yang menerangkan bagaimana proses manusia tercipta manusia merupakan aspek pembahasan dalam dunia biologi, yang sekaligus dibahas dalam Al-qur’an.

          Jika kita kembali pada penjelasan di atas, maka bisa kita lihat betapa mempelajari Al-qur’an memberikan kontribusi yang besar bagi kehidupan manusia. Mungkin apa yang disebutkan di atas hanya segelintir dari saja. Dan mungkin masih banyak lagi tujuan yang bisa kita ambil dari mempelajari Al-qur’an. Sehingga sudah menjadi sebuah fardhu kifayah hukumnya bagi muslim atau bahkan bisa menjadi fardhu ain untuk mempelajari Al-qur’an secara lebih mendalam.

B.     Urgensi Mempelajari Al-qur’an         
          Ada sebuah peran besar yang bisa dirasakan oleh umat muslim ketika mereka berhasil mendalam sebuah hidangan yang ada dalam kandungan isi Al-qur’an. Dan itu adalah sebuah hak tersendiri bagi seorang muslim untuk menemukannya. Bisa jadi individu yang satu dan individu yang lain memiliki sebuah kepentingan yang berbeda dalam mempelajari Al-qur’an. Seperti yang sempat kita bahas mengenai kamu orientalis. Para kaum orientalis bahkan ada yang mempelajari Al-qur’an sebagai media untuk membawa gejolak pemahaman bagi muslim. Memang tidak dapat dipungkiri masalah ini adalah bagian tanggung jawab muslim, maka oleh sebab itulah merupakan sebuah tugas besar bagi kaum muslim.

          Seperti yang yang sempat disinggung mengenai tujuan dan kegunaan mempelajari Al-qur’an bahwa dapat dirasakan manfaatnya ketika kita dapat menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan mempelajari Al-quran itu sendiri. Hal ini menujukkan bahwa bagi seorang mufassir, mustahil mampu menafsirkan Al-qur’an apalagi sampai membedahnya secar luas dan detail tanpa mengenali atau tepatnya menguasai lebih jauh ilmu-ilmu Al-qur’an. Sebab, ilmu tafsir adalah roh dari ilmu Al-qur’an. Maksudnya adalah bahwa menafsirkan Al-qur’an tetap saja tergantung pada ilmu Al-qur’an lainnya.

          Sebelumnya juga sempat disinggung bahwa sebenarnya ketika kita mempelajari Al-qur’an, kita tidak hanya dihadapkan pada ilmu-ilmu yang bersifat islam saja. Akan tetapi, ilmu sains dan teknologi merupakan bagian dari kandungan Al-qur’an yang juga dapat membantu memahami Al-qur’an. Terakhir adalah bahwa mempelajari Al-qur’an adalah konteksnya tidak terbatas, luas dan umum sekaligus memegang fungsi dan posisi  bagi penafsir Al-qur’an sepanjang zaman.

Mengapa Manusia Berfilsafat?

on Wednesday, September 3, 2014





Mengapa manusia berfilsafat?
Sadar atau tidak sadar kita sebetulnya sudah menjalankan sebuah proses yang mendalam kegiatan berfilsafat. Namun memang ada yang membedakan diantara prosesnya itu. Ada orang-orang yang benar-benar mendalam filsafat hingga ke dalam berbagai ilmu. Sesuai dengan jargon yang mengatakan bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu. Tak bisa dipungkiri bahwa filsafat bisa membawa seseorang pada puncak yang lebih stabil, artinya seseorang mampu memahami apapun yang ada di depan mata dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tidak belajar filsafat secara khusus? Jawabnya adalah bahwa tidak ada manusia yang tidak berfilsafat. Semua aspek yang dilakukan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas filsafat. Sesuai dengan makna kata filsafat itu sendiri bahwa filsafat adalah cinta kebijaksanaan. Ini artinya bahwa menuju kebijaksanaan tersebut memiliki proses yang harus dipikirkan oleh manusia untuk mencapainya. Akal sebagai alat primer dari diri manusia sekaligus pembeda dari semua makhluk yang ada, selalu mengajak manusia untuk melakukan proses pencarian jawaban terhadap apa yang dipertanyakannya. Maka dari itu, siapapun kita, pada kenyataannya mengalami sebuah proses berfilsafat. Memang dalam ranah yang signifikan jelas membedakan. Tapi bukan berarti seseorang menolak dirinya berfilsafat atau bahkan membenci filsafat itu sendiri. Misalnya saja, ketika seseorang menyelesaikan masalah yang dihadapainya, mau tidak mau ia harus menghadapinya. Proses menghadapi inilah yang nantinya menimbulkan banyak pertanyaan; mengapa ini bisa terjadi? Siapa yang mampu membantu menyelesaikan masalah ini? dan hingga nanti berujung pada tingkat yang diinginkan yakni kebijaksanaan menghadapai masalah itu. Itulah sebabnya mengapa manusia berfilsafat.
Sebetulnya ini tidak bisa menjadi sebuah pertanyaan jika kita menanyakan sebuah alasan karena mengingat bahwa filsafat memang sudah benar-benar sebagai fitrah manusia. Filsafat itu adalah proses berpikir. Manusia sebagai makhluk yang berpikir sudah jelas akan mengaktualisasikan apa yang ia miliki. Bahkan itu sudah menjadi sesuatu yang otomatis dalam diri manusia. Hanya saja yang membedakan adalah ketika seseorang membatasi filsafat itu dalam dirinya. Ketika kita mendengar orang-orang yang tidak suka filsafat, atau menganggap filsafat sebagai ajang menuju kesesatan berpikir. Sehingga pada lapangan banyak ditemukan mereka-mereka yang belajar filsafat itu mengarah pada hal yang negatif. Paradigma inilah yang semestinya diluruskan dalam diri kita; lingkungan dan negara bahwa dengan berpegang pada sistematis filsafat maka mampu membimbing manusia menuju arah yang lebih baik. Filsafat seperti apa? Filsafat yang memang didasari dengan berbagai teori mendasar yang mampu membimbing secara bertahap menuju kebaikan itu sendiri.

Makalah Ilmu Budaya Dasar

on Thursday, August 28, 2014

MENJADI INSANUL KAMIL (MANUSIA SEMPURNA)


PEMBAHASAN

I.1 RUANG LINGKUP KAJIAN MANUSIA BERBUDAYA

a.        Hakikat Manusia Perspektif Budaya
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonik jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Manusia lahir dalam keadaan serba-misterius. Artinya sangat sulit untuk  diketahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti manusia diciptakan oleh Tuhan melalu manusia lain (orangtua), sadar akan hidup dan kehidupannya, dan sadar pula akan tujuan hidupnya (kembali kepada Tuhan)[1].
Maka dari itu, jika kita melihat pernyataan di atas, manusia memang merupakan makhluk yang unik, serba dimensi dan dapat dipandangan dari berbagai segi. Misalnya saja dalam ilmu eksakta (Ilmu Kimia), manusia dipandang sebagai kumpulan partikel-partikel atom yang membentuk jaringan yang dimiliki manusia, sementara dalam dunia biologi, manusia adalah makhluk biologis yang tergolong dalam makhluk mamalia. Dalam ilmu sosial (Sosiologi) manusia adalah makhluk sosial, yang tidak mampu berdiri sendiri, dan manusia adalah makhluk yang berbudaya, dan masih banyak lagi pandangan ilmu lain terhadap manusia itu sendiri. oleh karena itu, manusia memang susah untuk ditelaah lebih dalam. Namun bukan berarti manusia tidak mampu mengenal dirinya dibandingakan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, oleh karena itulah dalam diri manusai terdapat hakekat yang membeda manusia sendiri dengan makhluk lain. Apakah hakekat manusia itu? Dalam pembahasana ini, ada beberapa hakekat manusia dalam persepektif budaya yang mampu menjawab seperti apakah manusia itu sebenarnya. Berikut adalah hakikat manusia:
1.             Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
Tubuh manusia adalah sebuah objek yang dapat dirasa, diraba, dilihat dan dalam bentuk wujud yang konkrit, namun tidak bersifat abadi. Sifat yang sementara membuat eksistensinya mampu bertahan dalam waktu yang telah ditentukan oleh sang pencipta, lalu kembali menjadi wujud awal penciptaannya yaitu tanah. Dibalik itu, terdapat jiwa dalam tubuh manusia. Suatu unsur yang berbanding terbalik dengan tubuh dalam, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dari medium tubuh. Jiwa bersifat abstrak. Tidak dapat dirasa, diraba, dan dilihat, namun disifatnya abadi. Ketika jiwa berpisah dari tubuh, maka jiwa akan kembali kepada sang pencipta. Tapi bukan berarti jiwa tersebut hancur, namun sebaliknya jiwa akan tetap abadi. Jiwa adalah roh dalam diri manusia yang fungsinya sebagai penggerak dan sumber kehidupan manusia. Oleh sebab itulah saat jiwa meninggalkan tubuh, manusia akan mati.
2.      Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lainnya.
Kesempurnaan manusia begitu terlihat bagaimana ia mampu menata hidupnya. Artinya manusia tahu apa yang harus dilakukannya karena perangkat dalam yang ia miliki yakni akal. Namun Tuhan tidak hanya menciptakan itu saja, perasaan dan kehendak pada jiwa manusia juga menambahkan kesempurnaan manusia sebagi manusia yang beradab dan berakal.
Dengan akal (ratio) manusia dapat menciptakan imu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin mampu berevolusi. Tidak diam dalam satu jenis. Ini menunjukkan manusia dengan akalnya mampu berkembang secara kontinue dan ada selalu ada prose berpikir manusia. Lalu dalam kehidupan juga manusia mengenal nilai baik dan buruk, sehingga mampu mempertimbangkan, menilai, berkehendak menciptakan kebenaran, keindahan, kebaikan, dan sebaliknya. Tidak hanya sebatas akal, manusia dilengkapi juga dengan perasaan yang mampu menciptakan seni atau nilai estetika dalam kehidupan manusia. Daya rasa (Perasaan) ini memili dua macam, yakni perasaan rohani dan perasaan inderawi. Perasaan inderwi adalah ransangan jasmani melalui pancaindra, tingkatnya rendah dan terdapat pada diri manusia dan binatan, kemudian perasaan rohani adalah perasaan yang suci lahir hanya dalam diri manusia misalnya:
a.         Perasaan intelektual adalah perasan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Seeorang akan merasa senang atau rasa ingin tahu terpecahkan apabila ia mampu mencari jawaban itu sendiri, namun sebaliknya apabila ia tidak menemukannya maka perasaan yang tidak senang akan timbul karena ketidakberhasilannya dalam menemukan jawaban itu.
b.      Perasaan estetis adalah perasaan yang berkenaan dengan keindahan. Seseorang akan merasa senang atau hatinya akan merasa bahagia kala ia melihat sesuatu yang indah, sebaliknya apabila ia menemukan sesuatu yang tidak mampu menarik hatinya maka akan timbul perasaan kesal atau tidak suka pada suatu hal itu.
c.       Perasaan etis adalah perasaan yang cenderungan pada kebaikan. Seseorang akan merasa jika sesuatu itu baik bagi dirinya, maupun yang lain, lalu sebaliknya apabila sesuatu itu jahat atau buruk bagi dirinya maupun yang lain, akan timbul rasa benci.
d.      Perasaan diri yaitu perasaan yang berkenaan dengan harga diri karena ada kelebihan ketimbang yang lain. Maka apabila seseorang memiliki kelebihan dibandingkan yang lainnya, ia akan angkuh dan sombong. Sebaliknya juga ketika ia tidak memilki kelebihan, seseorang tersebut akan merasa minder terhadap yang lain.
e.       Perasaan sosial yakni perasaan yang berhubungan dengan sebuah kelompok, hidup bermasyarakat dan ikut merasakan kehidupan orang lain. Ketika orang lain mendapatakn keberhasilan, maka ia akan senang, sebaliknya jika orang lain itu gagal maka ia akan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan orang lain tersebut.
f.       Perasaan religius yaitu perasaan yang mengarah pada kepercayaan atau agama. Seseorang merasakan ketenangan dan jiwanya merasa tentram ketika apabila ia mampu bertawakal kepada Tuhan, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

3.      Makhluk biokultural, yaitu makhluk hayati yang budayawi.
Manusia adalah produk dari saling tindak atau interaksi faktor-faktor hayati dan budayawi. Sebagai makhluk hayati, manusia dapat dipelajari dari segi-segi anatomi, fisiologi, biokimia, patologi, genetika, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk budayawi dapat dipelajari dari segi-segi: kemasyarakatan, kekerabatan, psikologi sosial, kesenian, ekonomi, bahasa, mata pencarian dan lain sebagainya yang menyakut kehidupan manusia.

4.      Makhluk ciptaan Tuhan yang terikat dengan lingkungan (Ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan berkarya.
Soren kienkegaard, seorang filosof Denmarkpelopor ajaran “Eksistensialisme” memandangan manusia dalam konteks kehidupan yang konkrit adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungan (Ekologi), memiliki sifat-sifat alamiah, dan tunduk pada hukum alamiah pula.
Kehidupan manusia memiliki 3 taraf, yaitu estis, estetis, dan religius. Dengan kehidupan estetis, manusia mampu menangkap dunia sekitarnya sebagai dunia yang mengagumkan dan mengungkapkan kembali (Karya) dalam lukisan , tarian dan nyanyian yang indah. Denga etis manusia meningkatkan kehidupan estetis ke dalam tingkata manusiawi dan dalam bentuk-bentuk keputusan bebas dan dipertanggungjawabkan. Dengan kehidupan religius, manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin dekat pula ia menuju kesempurnaan dan semakin jauh ia dilepaskan dari rasa kekhawatiran. Semakin dalam penghayatan kepada Tuhan, semakin bermakna pula kehidupannya, dan akan terungkap pula kenyatan manusia individual atau kenyataan mausia subjektif yang memiliki harkat dan martabat tinggi.

Menurut Berger kebudayaan merupakan totalitas produk-produk manusai yang mnecakup materiil dan non-materiil. Sementara yang terpenting dari aspek kebudayaan non-materiil adalah manusia (masyarakat) karena dari mereka terbentuk hubungan yang berkelanjutan antara manusia dan sesamanya. Kerena merupakan unsur kebudayaan, masyarakat juga bersifat sebagai produk manusia, sama seperti kebudayaan non-materiil. Berger menegaskan karakteristik tertentu dari manusia (masyarakat) ini sebagai berikut: masyarakat terdiri atas manusia yang melakukan aktivitas. Pola-polanya selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, tidak tersedia di alam, tidak juga bisa disimpulkan secara apapun dari “hakekat manusia”.[2]
            Berger juga menegaskan arti penting masyarakat. Masyarakat menempati posisi terhormat di antara formasi-formasi kebudayaan manusia. Ini adalah berkat satu fakta antropologis dasar lainnya, yaitu sosialitas esensial manusia... ini berarti bahwa manusia selalu hidup dalam kolektivitas dan bahkan ia akan kehilangan kemanuasiannya  jika dikucilkan dari manusia-manusia lainnya.
Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa masyarakat tentunya tidak hanya merupakan hasil dari kebudayaan, tetapi merupakan kondisi yang diharuskan oleh kebudayaan. Masyarakat membentuk, membagi, dan mengkoordinasi aktivitas pembangunan-dunia manusia. Hanya dalam masyarakat, produk aktivitas itu bisa bertahan untuk waktu yang lama.

Recent Comments

followers

About Me