Makalah Ilmu Budaya Dasar

on Thursday, August 28, 2014

MENJADI INSANUL KAMIL (MANUSIA SEMPURNA)


PEMBAHASAN

I.1 RUANG LINGKUP KAJIAN MANUSIA BERBUDAYA

a.        Hakikat Manusia Perspektif Budaya
Manusia adalah makhluk Tuhan yang otonom, pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonik jiwa raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. Manusia lahir dalam keadaan serba-misterius. Artinya sangat sulit untuk  diketahui mengapa, bagaimana, dan untuk apa kelahirannya itu. Yang pasti manusia diciptakan oleh Tuhan melalu manusia lain (orangtua), sadar akan hidup dan kehidupannya, dan sadar pula akan tujuan hidupnya (kembali kepada Tuhan)[1].
Maka dari itu, jika kita melihat pernyataan di atas, manusia memang merupakan makhluk yang unik, serba dimensi dan dapat dipandangan dari berbagai segi. Misalnya saja dalam ilmu eksakta (Ilmu Kimia), manusia dipandang sebagai kumpulan partikel-partikel atom yang membentuk jaringan yang dimiliki manusia, sementara dalam dunia biologi, manusia adalah makhluk biologis yang tergolong dalam makhluk mamalia. Dalam ilmu sosial (Sosiologi) manusia adalah makhluk sosial, yang tidak mampu berdiri sendiri, dan manusia adalah makhluk yang berbudaya, dan masih banyak lagi pandangan ilmu lain terhadap manusia itu sendiri. oleh karena itu, manusia memang susah untuk ditelaah lebih dalam. Namun bukan berarti manusia tidak mampu mengenal dirinya dibandingakan dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, oleh karena itulah dalam diri manusai terdapat hakekat yang membeda manusia sendiri dengan makhluk lain. Apakah hakekat manusia itu? Dalam pembahasana ini, ada beberapa hakekat manusia dalam persepektif budaya yang mampu menjawab seperti apakah manusia itu sebenarnya. Berikut adalah hakikat manusia:
1.             Makhluk ciptaan Tuhan yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh.
Tubuh manusia adalah sebuah objek yang dapat dirasa, diraba, dilihat dan dalam bentuk wujud yang konkrit, namun tidak bersifat abadi. Sifat yang sementara membuat eksistensinya mampu bertahan dalam waktu yang telah ditentukan oleh sang pencipta, lalu kembali menjadi wujud awal penciptaannya yaitu tanah. Dibalik itu, terdapat jiwa dalam tubuh manusia. Suatu unsur yang berbanding terbalik dengan tubuh dalam, akan tetapi tidak bisa dipisahkan dari medium tubuh. Jiwa bersifat abstrak. Tidak dapat dirasa, diraba, dan dilihat, namun disifatnya abadi. Ketika jiwa berpisah dari tubuh, maka jiwa akan kembali kepada sang pencipta. Tapi bukan berarti jiwa tersebut hancur, namun sebaliknya jiwa akan tetap abadi. Jiwa adalah roh dalam diri manusia yang fungsinya sebagai penggerak dan sumber kehidupan manusia. Oleh sebab itulah saat jiwa meninggalkan tubuh, manusia akan mati.
2.      Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lainnya.
Kesempurnaan manusia begitu terlihat bagaimana ia mampu menata hidupnya. Artinya manusia tahu apa yang harus dilakukannya karena perangkat dalam yang ia miliki yakni akal. Namun Tuhan tidak hanya menciptakan itu saja, perasaan dan kehendak pada jiwa manusia juga menambahkan kesempurnaan manusia sebagi manusia yang beradab dan berakal.
Dengan akal (ratio) manusia dapat menciptakan imu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin mampu berevolusi. Tidak diam dalam satu jenis. Ini menunjukkan manusia dengan akalnya mampu berkembang secara kontinue dan ada selalu ada prose berpikir manusia. Lalu dalam kehidupan juga manusia mengenal nilai baik dan buruk, sehingga mampu mempertimbangkan, menilai, berkehendak menciptakan kebenaran, keindahan, kebaikan, dan sebaliknya. Tidak hanya sebatas akal, manusia dilengkapi juga dengan perasaan yang mampu menciptakan seni atau nilai estetika dalam kehidupan manusia. Daya rasa (Perasaan) ini memili dua macam, yakni perasaan rohani dan perasaan inderawi. Perasaan inderwi adalah ransangan jasmani melalui pancaindra, tingkatnya rendah dan terdapat pada diri manusia dan binatan, kemudian perasaan rohani adalah perasaan yang suci lahir hanya dalam diri manusia misalnya:
a.         Perasaan intelektual adalah perasan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Seeorang akan merasa senang atau rasa ingin tahu terpecahkan apabila ia mampu mencari jawaban itu sendiri, namun sebaliknya apabila ia tidak menemukannya maka perasaan yang tidak senang akan timbul karena ketidakberhasilannya dalam menemukan jawaban itu.
b.      Perasaan estetis adalah perasaan yang berkenaan dengan keindahan. Seseorang akan merasa senang atau hatinya akan merasa bahagia kala ia melihat sesuatu yang indah, sebaliknya apabila ia menemukan sesuatu yang tidak mampu menarik hatinya maka akan timbul perasaan kesal atau tidak suka pada suatu hal itu.
c.       Perasaan etis adalah perasaan yang cenderungan pada kebaikan. Seseorang akan merasa jika sesuatu itu baik bagi dirinya, maupun yang lain, lalu sebaliknya apabila sesuatu itu jahat atau buruk bagi dirinya maupun yang lain, akan timbul rasa benci.
d.      Perasaan diri yaitu perasaan yang berkenaan dengan harga diri karena ada kelebihan ketimbang yang lain. Maka apabila seseorang memiliki kelebihan dibandingkan yang lainnya, ia akan angkuh dan sombong. Sebaliknya juga ketika ia tidak memilki kelebihan, seseorang tersebut akan merasa minder terhadap yang lain.
e.       Perasaan sosial yakni perasaan yang berhubungan dengan sebuah kelompok, hidup bermasyarakat dan ikut merasakan kehidupan orang lain. Ketika orang lain mendapatakn keberhasilan, maka ia akan senang, sebaliknya jika orang lain itu gagal maka ia akan ikut merasakan kesedihan yang dirasakan orang lain tersebut.
f.       Perasaan religius yaitu perasaan yang mengarah pada kepercayaan atau agama. Seseorang merasakan ketenangan dan jiwanya merasa tentram ketika apabila ia mampu bertawakal kepada Tuhan, yaitu dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

3.      Makhluk biokultural, yaitu makhluk hayati yang budayawi.
Manusia adalah produk dari saling tindak atau interaksi faktor-faktor hayati dan budayawi. Sebagai makhluk hayati, manusia dapat dipelajari dari segi-segi anatomi, fisiologi, biokimia, patologi, genetika, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk budayawi dapat dipelajari dari segi-segi: kemasyarakatan, kekerabatan, psikologi sosial, kesenian, ekonomi, bahasa, mata pencarian dan lain sebagainya yang menyakut kehidupan manusia.

4.      Makhluk ciptaan Tuhan yang terikat dengan lingkungan (Ekologi), mempunyai kualitas dan martabat karena kemampuan bekerja dan berkarya.
Soren kienkegaard, seorang filosof Denmarkpelopor ajaran “Eksistensialisme” memandangan manusia dalam konteks kehidupan yang konkrit adalah makhluk alamiah yang terikat dengan lingkungan (Ekologi), memiliki sifat-sifat alamiah, dan tunduk pada hukum alamiah pula.
Kehidupan manusia memiliki 3 taraf, yaitu estis, estetis, dan religius. Dengan kehidupan estetis, manusia mampu menangkap dunia sekitarnya sebagai dunia yang mengagumkan dan mengungkapkan kembali (Karya) dalam lukisan , tarian dan nyanyian yang indah. Denga etis manusia meningkatkan kehidupan estetis ke dalam tingkata manusiawi dan dalam bentuk-bentuk keputusan bebas dan dipertanggungjawabkan. Dengan kehidupan religius, manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin dekat pula ia menuju kesempurnaan dan semakin jauh ia dilepaskan dari rasa kekhawatiran. Semakin dalam penghayatan kepada Tuhan, semakin bermakna pula kehidupannya, dan akan terungkap pula kenyatan manusia individual atau kenyataan mausia subjektif yang memiliki harkat dan martabat tinggi.

Menurut Berger kebudayaan merupakan totalitas produk-produk manusai yang mnecakup materiil dan non-materiil. Sementara yang terpenting dari aspek kebudayaan non-materiil adalah manusia (masyarakat) karena dari mereka terbentuk hubungan yang berkelanjutan antara manusia dan sesamanya. Kerena merupakan unsur kebudayaan, masyarakat juga bersifat sebagai produk manusia, sama seperti kebudayaan non-materiil. Berger menegaskan karakteristik tertentu dari manusia (masyarakat) ini sebagai berikut: masyarakat terdiri atas manusia yang melakukan aktivitas. Pola-polanya selalu berhubungan dengan ruang dan waktu, tidak tersedia di alam, tidak juga bisa disimpulkan secara apapun dari “hakekat manusia”.[2]
            Berger juga menegaskan arti penting masyarakat. Masyarakat menempati posisi terhormat di antara formasi-formasi kebudayaan manusia. Ini adalah berkat satu fakta antropologis dasar lainnya, yaitu sosialitas esensial manusia... ini berarti bahwa manusia selalu hidup dalam kolektivitas dan bahkan ia akan kehilangan kemanuasiannya  jika dikucilkan dari manusia-manusia lainnya.
Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa masyarakat tentunya tidak hanya merupakan hasil dari kebudayaan, tetapi merupakan kondisi yang diharuskan oleh kebudayaan. Masyarakat membentuk, membagi, dan mengkoordinasi aktivitas pembangunan-dunia manusia. Hanya dalam masyarakat, produk aktivitas itu bisa bertahan untuk waktu yang lama.


b.      Hakikat Manusia Perspektif Islam

1.      Manusia adalah makhluk
Dalam perspektif Islam, dengan tegas menyatakan bahwa manusia adalah makhluk, bahkan makhluk terbaik dari semua ciptaan Allah yang kesemuanya baik:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
(Qs. At-Tin 95:4)
Allah Swt menciptakan manusia lebih baik daripada Jin, malaikat, dan Iblis. Meskipun malaikat dalam penciptaannya adalah makhluk yang paling taat dengan semua perintah Allah, namun malaikat tidak diberikan suatu hambatan yang berarti berupa nafsu jasmani maupun nafsu ruhani. Sehingga, ketaatannya menjadi sesuatu yang biasa. Karena tidak ada yang malaikat perjuangkan dengan keras. Ia tercipta hanya dengan ketaatannya. Berbeda dengan manusia, ia dibekali akal dan nafsu yang membuatnya harus berjuang sekuat tenaga dan berkorban memerangi hawa nafsunya untuk menuju kesempurnaan dirinya. Hal ini yang membuatnya menjadi makhluk yang terbaik.

Logika Iblis yang menyatakan pendapat subjektifnya di depan Allah Swt dan para malaikatnya hingga Allah murka terhadapnya sangat keliru. Ia berkata,  “aku lebih baik dari Adam”, dan “api lebih baik dari tanah”. Dengan nalar, kita bisa buktikan bahwa tanah selamanya lebih baik dari api. Api bisa mati oleh tanah, sedangkan tanah ketika dibakar oleh api maka tetap menjadi tanah. Api bersifat menghancurkan, sedangkan tanah bersifat menyuburkan. Api hanya dibutuhkan oleh manusia dan tidak dibutuhkan oleh hewan dan tumbuhan. Sedangkan tanah, dibutuhkan oleh semuanya. Hal ini membutuhkan bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Sempurna dalam menciptakan makhluknya.

            Diceritakan dalam surat Al-Baqarah ayat 31 sampai 33 bahwa ketika Allah memberikan tantangan kepada para malaikat dan Jin untuk menyebutkan nama-nama semua objek yang ada. Mereka tidak mampu dan mengakui bahwa hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui. Kemudian ketika Nabi Adam as dipinta oleh Allah Swt, maka Nabi Adam mampu menyebutkan semua Nama-nama yang diajarkan Allah Swt kepadanya.

Dari peristiwa ini, nampak bahwa pada hakikatnya Allah adalah pemberi ilmu. Melalui proses awal yang amat rumit yang tidak didasari, manusia justru dapat mengembangkan dirinya, manusia dapat mengetahui,  merekayasa, memprediksi, mengendalikan dan mengeksploitasi lingkungan, mengurus dan memakmurkan kehidupan, karena kemampuan akalnyamaka manusia adalah satu-satunya makhluk yang berperadaban dan berbudaya.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”
(Qs. Al-Isra’ 17:70)
Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan kadar dan karakteristik tertentu. Kadar dan karakteristik itulah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Manusia mempunyai kemampuan belajar yang tinggi. Dengan segala kemampuannya, manusia diberikan beban dan tanggung jawab yang tinggi di alam semesta ini. Dengan segala potensi yang ada padanya, manusia juga sangat mungkin untuk menu kesempurnaan dirinya.



2.      Fungsi dan jabatan manusia adalah khalifah

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan Khalifah di muka bumi.”
(Qs. Al Baqarah 2:30)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat jahil.”
(Qs. Al Ahzab 33:72)

“…dan Yang menghilangkan kesusahan dan Yang menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan lain? Amat sedikit kalian mengingati (Nya).” (Qs. An Naml 27:62).

Tiga dalil di atas sudah sangat jelas menyatakan bahwa manusia memang memunyai fungsi dan jabatan sebagai khalifah di muka bumi. Khalifah dalam pengertian ini, bahwa manusia adalah pemegang amanat, pemakmur bumi, sebagai wakil atau pemegang kekuasaan-Nya mengurus dunia dengan jalan melaksanakan segala yang diridai-Nya di muka bumi ini. (H.M. Rasjdi, 1972:71)

Namun, terkadang dengan segala gemerlap kemewahan yang ada di muka bumi ini, manusia dibuat lupa dengan kenikmatan yang hanya sesaat seperti harta serta hiburan-hiburan duniawi. Dalil di atas telah diungkapakan sendiri oleh Allah Swt bahwa, manusia itu amat zalim dan amat jahil, juga sangat sedikit dalam mengingat Allah sebagai penciptanya. Adapun kelemahan-kelemahan manusia yang lainnya, telah diungkapkan dalam Al-qur’an, diantaranya adalah:
A.    Makhluk yang melampaui batas (Qs. Yunus:12)
B.     Zalim (bengis, kejam, idak menaruh belas kasihan, tidak adil, dan aniaya), dan mengingkari karunia (pemberian) Allah (Qs. Ibrahim:34)
C.     Tergesa-gesa (Qs. Al-isra’:11)
D.    Suka membantah (Qs. Al-Kahf:54)
E.     Berkeluh kesah dan kikir (Qs. Al-Ma’arij: 19-21)
F.      Ingkar dan tidak berterima kasih (Qs. Al-A’diyat:6)

Segala kelemahan itu hendaknya menjadi kesadaran yang harus direnungkan oleh semua manusia. Tidak pantas bagi manusia yang memiliki derajat tinggi serta tanggung jawab yang tidak mudah dikuasai oleh sifat-sifat dan perbuatan seperti yang telah kami ungkapkan di atas. Agaknya, hal ini menjad pertimbangan bagi manusia untuk segera menyadari fungsi dan jabatan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang tidak lepas dari segala kekurangan yang selalu menyertainya. Agar bumi ini tidak mengalami kerusakan dan tentu saja manusia bisa hidup selartas dengan fungsi dan jabatannya.


3.      Tujuan utama penciptaan manusia adalah Ibadah

“Dan tidaklah kami ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (kepada-ku).”
(Qs. Az-zariyat 51:56)

Manusia di dunia dengan potensi dan status kekhalifahan yang diberikan Allah memiliki tujuan utama yakni ibadah. Ibadah hanya kepada Allah berarti penghambaan kepada yang berhak, karena Dia yang paling berhak terhadap manusia. Manusia tidak lagi dijajah oleh kepentingan lain, kepentingan lain adalah sub tujuan atau bahkan bukan tujuan utama bagi manusia. Penghambaan yang tertinggi adalah mengakui keesaan Allah dengan mengakui bahwa Dia saja yang berhak mengatur hidup manusia selain pencipta manusia. Menjadikan selain Allah berkedudukan sebagai pencipta merupakan tindakan saingan atau andalan yang mana itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan musyrik.

Allah Swt adalah Sang pencipta (khaliq) yang memiliki perintah dan larangan yang ditujukan untuk manusia sebagai makhluk. Maka dari itu, manusia wajib hukumnya untuk tunduk dan patuh terhadap semua perintah dari larangan Allah Swt. Ketundukkan dan kepatuhan itulah yang menempatkan manusia sebagai yang menghamba (abid), maka aktivitas seorang hamba dalam menjalankan semua perintah dan larangan penciptanya adalah disebut aktivitas ibadah. Dengan demikian, aktivitas seluruh hubungan antara seorang hamba dengan penciptanya adalah hubungan ibadah. Dengan kata lain, hubungan antara makhluq dan khaliq adalah akhlaq.

Adapun aktivitas ibadah adalah seluruh perbuatan hamba, tidak ada aktivitas hamba yang tidak termasuk kategori ibadah, sebab hubungan hamba dan Tuhan tidak mengenal jeda atau putus walau satu urusan, walau satu detik. Ibadah meliputi totalitas 100% kehidupan. Dengan demikian, aturan Allah meliputi seluruh totalitas kehidupan, tidak ada satu aktivitas yang bebas dari aturan Allah. Ada aturan Allah yang bersifat global, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan rinciannya karena manusia diberi potensi dan dengan potensi tersebut manusia dapat berkarya dan berkreasi. Wilyah ini adalah wilayah yang manusia diberikan kebebasan yan memungkinkan merealisasikan perintah global.
Sebagian lainnya aturan Allah bersifat detail dan jelas makna dan penunjukannya, manusia seakan tidak diperkenankan masuk ke dalam wilayah yang bukan otoritasnya. Manusia tinggal melaksanankan dengan sebiak-baiknya setelah memahami perintahnya. Pada tataran ini manusia tidak dapat masuk ke dalam wilayah perbatasan antara posisi Allah dan makhluk.

4.      Relasi Mikro dan Makrokosmos
Manusia pada dasarnya manusia hidup di dunia tetapi perbuatannya diliputi oleh dua hukum alam kehidupan. Alam pertama, adalah alam mujbar, yakni alam di mana manusia tidak dapat mengendalikan sepenuhnya , ia hanya menerima sebagai kepastian. Pada posisi ini manusia tidak akan diminta pertanggungjawabannya, mislanya: kenapa ia menjadi laki-laki dan bukan perempuan, kenapa ia menjadi orang Indonesia dan bukan China, kenapa ia lahir tahun ini bukan tahun depan. Alam kedua, adalah alam mukhayyar, yakni manusia berada dalam alam yang ia akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Manusia diminta pertanggungjawabannya atas penggunaan potensi yang diberikan kepadanya, misalnya bagaimana berperilaku, kenapa ia memukul orang, bagaimana ia menjadi pejabat, dan bagaimana ia menjalankan tugas sebagia seorang suami maupun seorang istri. Pada alam kedua ini, manusia menyadari tanggung jawab atas perbuatannya.

1.      Perbuatan yang dikuasai oleh manusia (mukhayyar), yaitu perbuatan yang dapat dilakukan oleh manusia dengan suka rela. Contoh, orang berjualan, makan, minum dan berpergian. Semuanya dapat dilakukan oleh orang tersebuttanpa dipaksa oleh siapapun. Karena itu dalam melakukan perbuatan tersebut, manusia kelak akan dimintai peranggungjawaban oleh Allah.
2.      Perbuatan yang menguasai manusia (mujbar, musayyar) yaitu perbuatan yang dilakukan diluar kehendaknya, baik yang lahir dari manusia atau menimpanyadalam melakukan perbuatan tersebut, adakalnya manusia terikat dengan nizam al-wujud (sistem kejagatrayaan atau biasa dikenal sebagai ‘hukum alam’), seperti jatuh dari atas ke bawah secara tidak sengaja. Seperti halnya, mengapa seseorang dilahirkan dalam keadaan kulit putih, hitam, punya bapak si A dan bukan si B, lahir dengan rupa, ukuran tertentu, dan sebagainya. Apa yang menimpa manusia juga bisa jadi tidak ada kaitannya dengan nizam al-wujud, seperti ketika ia naik motor dengan baik, ditengah jalan tiba-tiba ada orang mabuk yang menabrakkan mobilnya.

Relasi mikro dan makrokosmos ini berkaitan dengan pembahasan yang kita kenal dengan Qada dan Qadar. Perdebatan yang panjang antara kaum Mu’tazillah, Jabariyyah,sampai Ahlussunnah wal jamaah, agaknya membuat pembahasan ini menjadi menarik dan menambah khazanah Islam. Manusia dengan segala potensi yang dimiliki membuat dirinya bebas untuk berkehendak. Namun, pada saat yang sama ada bagian-bagian yang manusia tidak bisa untuk berkehendak secara bebas. Hal ini telah kami uraikan di atas. Dalam prosesnya, Allah Swt tentu saja memunyai rahasia-rahasia yang meliputi rahasia tentang alam semesta dan sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sebagai penduduk bumi yang paling bertanggungjawab atas apa yang terjadi dengan alam semesta.

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (bagi perjalanan bulan), supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”
(Qs. Yunus 10:5)

Menurut hemat kami, Allah Swt disini telah memberikan pengetahuan kepada manusia tentang apa yang terjadi sepanjang kehidupannya di alam semesta. Hal itu, merupakan pengetahuan yang sangat diperlukan untuk roda kehidupan manusia. Keberkaitan ini akan melahirkan berbagai misteri yang lambat laun akan terpecahkan oleh segenap potensi yang manusia miliki. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa, dulu kepercayaan manusia tentang bulan dan matahari belum seperti yang sekarang kita sepakati bersama. Namun, di era yang semakin canggih ini pengetahuan tentang matahari dan bulan itu menjadi penentuan waktu di setiap Negara. Maka, relasi antara mikro dan makrokosmos itu bertemu antara ruang lingkup manusia dengan segala potensi yang dimiliki dengan kejadian-kejadian misteri yang ada di alam semesta ini, serta adanya camur tangan dari Allah Swt.



c.    Manusia Sempurna (Insan Kamil), titik temu antara Islam dan Budaya
Membicarakan manusia sempurna, titik temunya antara islam dan budaya adalah merujuk kepada Eksistensi manusia sendiri. Kerena dalam islam dan budaya, sama-sama membicarakan keberadaan manusia dan bagaimana kedudukan manusia dalam hidup.
Jelas sekali bahwa keberadaan manusia menjadi tanda tanya dan juga menjadi sebuah perhatian kita, maka tak aneh bila kita katakan bahwa hampir semua hasli berpikir manusia menghasilkan jawaban-jawaban yang dapat membantu. Lalu seperti apa titik temu itu?
A.    Tujuan penciptaan manusia
Allah Swt menciptakan alam semesta ini bukan untuk main-main, bukan tanpa tujuan. Manusia yang merupakan bagian dari alam semesta ini pun diciptakan untuk suatu tujuan.  Dan jelas-jelas pada Q.S Al-Baqarah [2]: 31-33) menjelaskan bahwa Allah Swt menciptakan Adam sebagai manusia pertama yang memiliki kemampuan akal yang sempurna. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Adam adalah manusia pertama yang memilki nilai-nilai kemanusiaan. Dengan itu, manusia membentuk kebudayaan. Dengan akal itulah, Allah Swt membekali Adam untuk melanjutkan hidupnya dan mampu menuntun arah yang diinginkannya tanpa keluar dari jalur yang Allah Swt batasi. Lalu budaya adalah hasil dari gagasan manusia yang sumbernya dari akal. Jelas titi temu islam dapat kita baca melalui unsur diciptakannya akal. Akal sebagai pembeda manusia dengan makhluk lainnya sekaligus sebagai penuntun jalan hidup seorang manusia.

B.     Fungsi dan peranan yang Allah Swt berikan kepada manusia
Dalam hal ini, fungsi manusia adalah sebagai hamba, namun dalam penghambaannya manusia juga sekaligus khalifah Allah Swt yang berperan sebagai pengolah (pemakmur) bumi Allah Swt. Lalu dalam proses inilah manusia masuk ke dalam prose yang lebih dalam lagi yakni dengan menciptakan sebuah kehidupan yang mengarah pada kesejahteraan diri atau bisa dikatakan pada apa yang ia inginkan. Maka lahirlah sebuah gagasan atau ide-ide baru yang murni terlahir dari sikap manusia sebagai pengolah (Khalifah) bumi. Manusia memagang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Namun mandat itu bersifat kekuasaan, kekuasaan yang bersifat kreatif. Artinya manusia memungkinkan dirinya mengelolah mendayagunakan segala yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan Tuhan.  Dengan menunjuk manusia sebagai Khalifah, Allah Swt memberi wewenang dan kekuasaan pula untuk memanfaatkan seluruh sumber daya yang tersembunyi di daratan, di lautan, dan angakasa luar. Artinya manusia menciptakan sebuah prose dalam hidup, yang biasa kita kenal sebagai budaya. Inilah yang menjadi dasar titik temu antara islam dan budaya dalam menyimpulkan sosok manusia.
Dari dua pernyataan di atas, insanul kamil dalam islam dan budaya adalah bagaimana ia hidup dan pemaksimalan fungsi yang telah Tuhan berikan, terutama dengan melalui proses berpikir yakni akal yang menjadi bukti manusia untuk menuju sebuah kesempurnaan.


II.2 KARAKTER MANUSIA SEMPURNA  (INSAN KAMIL)

a.        Karakteristik Manusia Sempurna Perspektif Budaya

I.     Budaya dan Manusia
jika kita membahas karakteristik Insan kamil dalam budaya, maka kita akan mengawali pembahasan dengan kaitan manusia dengan kebudayaan. Secara sederhana, hubungan manusia dan budaya adalah manusia adalah sebagai pelaku dan budaya adalah objek yang dilaksanakan oleh manusia[3].
Dalam sosiologi manusia dan budaya dinilai sebagai dwitunggal, maksudnya walaupun keduanya berbeda, tapi dalam satu kesatuan. Manusia menciptakan kebudayaan, lalu kebudayaan mengatur hidup manusia sehingga keduanya bersifat komplementer.
Dari sisi lain, hubungan manusia dan budaya dapat dipandang setara antara manusia dan kehidupan bermasyarakat yang dinyatakan sebagai idealektis, maksudnya saling berkaitan satu sama lain. Proses ini tercipta melalui tiga tahap yakni:
a.       Eksternalisasi, yaitu proses dimana manusia mengekspresikan dirinya dengan membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini masyarakatmenjadi kenyataan buatan manusia.
b.      Obyektivasi, yaitu proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif, yaitu suatu kenyataan yang terpisah dari manusia dan berhadapan dengan manusia. Dengan demikian masyarakat dengan segala pranata sosialnya akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia.
c.       Internalisasi, yaitu proses dimana masyarakat disergap kembali oleh manusia. Maksudnya manusia memperlajari kembali masyarakatnya sendiri agar ia dapat hidup dengan baik, sehingga manusia menjadi kenyataan yang dibentuk oleh masyarakat.

Apabila manusia melupakan bahwa masyarakat adalah ciptaan manusia, ia akan terasing atau tealinasi[4]. Pernyataan Berger mengingatkan bahwa manusia tidak dapat terpisah dari masyarakat kecuali jika ia ingin terasing. Manusia dan budaya mempunyai hubungan yang saling berkaitan. Pada kondisi sekarang ini, tidak bisa kita menyatakan bahwa salah satu dari mereka lebih awal muncul. Analisa keduanya harus menyertakan pembahasan masalah dan waktu agar penganalisaannya dapat dilakukan dengan cermat.

Dengan melihat pembahasan di atas, kita akan menemukan bahwa manusi dan budaya merupakan satu kesatuan. Insan kamil dalam budaya jelas mengarahkan manusia pada sebuah proses yang baik. Dengan akal yang terjaga, prose berpikir yang terjadi serta budaya yang dapat mengatur kehidupan manusia, maka gambaran sosok yang mengarah pada insan kamil bisa dirasakan. Tapi ini bukan berarti kita mampu menjadi sosok insan kamil ayng seutuhnya. Budaya yang lahir hanya sebatas aturan yang mengatur perbuatan manusia, tapi tdak menjamin manusia itu menjadi sosok yang bisa ditandingkan dengan Rasulullah Saw. Budaya hanya mengatur sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam budaya itu. Berbeda ketika kita melihat insan kamil dalam diri Nabi Muhammad Saw yang jelas sekali tanpa aturan dan hal-hal yang membatasnya, ia mustahil keluar dari sisi kesuciannya. Karena sifat yang sudah tertanam dalam dirinya serta sifat maksum yang diberikan padanya.

b.      Karakteristik Manusia Sempurna Perspektif Islam

1.                  Manusia sempurna sebagai tujuan dan penyebab utama adanya makhluk.
Mawlawi menganggap bahwa Nabi umat Islam, Muhammad saw, sebagai bukti nyata dari Manusia Sempurna. Hal ini didasarkan pada dua Hadis dari Muhammad saw yang menyakut keberadaan dirinya itu:
(1) sabdanya yang mengatakan, meskipun aku adalah keturunan Adam, namun aku adalah nenek moyang Adam; karena itu, Adam dan beberapa nabi yang lain datang setelah aku.
“karenanya, Mustafa (Muhammad) mengatakan bahwa Adam dan para nabi yang lain datang di belakang saya dan bergantung padaku.”
Dengan alasan ini, Rasulullah menyatakan pernyataan yang alegoris, “Kami adalah yang terakhir dan yang pertama.”
Makna lain dari pernyataan Rasulullah bisa kita katakan demikian, “jika dalam penampilan, aku lahir dari Adam, tetapi dalam realitasnya, aku adalah moyang dari seluruh moyang yang ada.”
(2) sebuah Hadis Qudsi yang mengatakan, “Jika bukan karena kamu (Muhammad), Aku tidak akan menciptakan alam.”[5] Makna dari hadis ini bisa kita pahami bahwa  Rasulullah sebagai penyebab utama diciptakannya alam semesta. Jika Nabi Muhammad tidak ada (tidak diciptakan) , maka alam semesta beserta semua makhluk yang ada di dalamnya pun tidak ada. Mengapa? Karena, Muhammad saw adalah wujud dari manusia sempurna itu. Ia menjadi tujuan sekaligus penyebab utama adanya makhluk di alam semesta ini.

2.                  Manusia sempurna, sebagai perantara adanya materi, adalah kemuliaan spiritual.

Syair yang begitu indah dan mempunyai makna yang sangat dalam telah mampu mengungkapkan perkara ini.
“Quth mirip singa, dan pekerjaannya adalah memburu:
(seluruh) lainnya, (yakni) penduduk (di dunia ini), makan dari sisa yang ia tinggalkan.”
“langit adalah budak bagi bulan: penjuru Timur dan Barat meminta roti padanya.”
“Makanan (kita) adalah memakan makanan yang diberikan olehnya: buah-buahan adalah bibir kering yang kehausan menunggu hujan daripadanya.”[6]
Manusia sempurna menerima material dan spiritual dari Tuhan kemudian dilanjutkan kepada makhluk-makhluk yang lain dan oleh karena itu ia memiliki kemampuan untuk memengaruhi keberadaan makhluk-makhluk itu. Dari syair di atas, menurut hemat kami,  kita bisa melihat betapa manusia sempurna yang diilustrasikan seperti Quth dan bulan memiliki peran sentral yang akan menjadi perantara untuk makhluk-maklhuk yang lain. Makhluk-makhluk yang lain sangat bergantung kepada manusia sempurna. Pasalnya, tidak bisa ditampikkan bahwa manusia sempurna adalah wakil Tuhan.

3.                  Manusia sempurna dan makrokosmos

Mawlawi mengatakan bahwa manusia diberikan sejumlah karakteristik. Ia berbeda dengan makhluk yang lainnya. Salah satu dari karakteristik tersebut adalah bahwa eksistensinya merupakan tempat ditemukannya semua tipe dari semua eksistensi yang ada di dunia ini pada levelnya masing-masing. Misalnya, di dunia ini terdapat berbagai bentuk makhluk materi dan makhluk abstrak, dan kasus tersebut sama dengan eksistensi manusia. Tentu saja, tidak level kesempurnaan manusia itu ada pada setiap orang, tetapi level dasar dari level kesempurnaan itu terdapat pada diri setiap orang-sebuah karakteristik yang tidak dapat ditemukan pada eksistensi-eksistensi yang lain. Para malaikat, mahkota tuhan, seluruh jiwa, semua makhluk yang tinggi dan rendah kedudukannya berada pada dirinya. bahkan, ia lebih tinggi kedudukannya dari semua itu dan keunggulan eksistensinya sangat hebat dimana seluruh alam ini hanyalah satu level dari seluruh level yang ada padanya.

“karena itu, pada hakikatnya, engkau adalah mikrokosmos, karena itu pula, pada realitasnya, engkau adalah mikrokosmos”[7]

Setiap manusia sempurna yang memiliki keunikan dalam kehidupannya, mengatakan bahwa dalam dirinya ada sejumlah dunia.

“setiap nabi datang sendirian ke dunia ini: dia dulunya sendirian, dan dia (masih) maenyimpan ratusan dunia dalam dirinya.”[8]

4.                  Tidak ada waktu kosong dari manusia sempurna

Setiap saat, alam ini tidak akan pernah kosong dari manusia sempurna. Dalam banyak kesempatan, ia yang merupakan wakil Tuhan dan lambang keagungan-Nya selalu membawa kesempurnaan dan rahmat dari Tuhan kepada makhluk sembari mengantarkan manusia menuju kebenaran. Jadi, mawlawi mngatakan bahwa meskipun kenabian telah berakhir dengan adanya nabi terakhir, yakni Muhammad saw, namun wilayat (kepemimpinan) tidak akan berakhir dan manuisa sempurna akan terus hadir di dunia ini sebagai wali (orang suci) hingg datangnya hari kiamat.

“karena itu, setiap saat (setelah Muhammad wafat) akan muncul seorang wali (untuk menjalankan kedudukannyasebagai wakil Tuhan): masa percobaan (bagi manusia) baru akan berakhir setelah datangnya hari kiamat.”[9]
5.                  Manusia sempurna dan berbagai kesulitan

Manusia sempurna akan menerima apapun yang datang kepadanya, kemurahan atau kemurkaan, dan sebagainya, dengan senang hati karena adanya cinta yang sesungguhnya pada kebenaran dan kefanaannya pada Tuhan. Dia mnganggap bahwa apa pun yang terjadi di dunia ini adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, dan karenba itu, dia tidak pantas menangis karenanya, bahkan seharusnya dia menikmatinya layaknya senandung lagu gembira. Seluruh kesulitan dan penyakit, seperti kematian orang terdekat, hilangnya harta kekayaan, menghadapi fitnah, dan sebagainya, akan dianggapnya sebagai hadiah dari orang yang tercinta.[10] Kalau ada kesedihan pada dirinya yang datang dari Tuhan, maka ia akan menghindari rintihan karena khawatir hadiah tersebut akan hilang. Berkaitan dengan hal ini, ia bahkan mengatakan:

“oh, kemurkaan-Mu lebih baik daripada keberuntungan yang besar, dan balasanmu lebih indah daripada kehidupan”
“ini adalah api-Mu: bagaimana ia menjadi cahaya-Mu! Ini adalah hari berkabung-Mu, lalu bagaimana ia menjadi hari raya-Mu!”
“Aku mengadu, dan aku (masih) takut jikalau dia mempercayaiku dan dari kebaikannya menjadikan hal itu berkurangnya kemurkaan.”
“Aku sangat terpikat dengan kekerasan-Nya dan kelembutan-Nya: itu sangat menyenangkan sehingga saya mencintai kedua bentuk yang saling bertolak belakang ini.”[11]

Syair ini sangat jelas menggambarkan bagaiamana manusia sempurna dengan keadaan bagaiamanapun dan seperti apapun tetap konsisten dengan kesempurnannya. Bagaiamana tidak, keadaaan yang berduka yang semestinya diratapi, diterima dengan begitu menyenangkan. Lalu, keadaan yang bahagia yang seharusnya menyenangkan, diterima dengan menjaga dirinya dari keterlenaan. Dua hal yang bertolak belakang itu bisa ia kendalikan dengan begitu menakjuban. Sehingga keduanya akan senantiasa berjalan beriringan seperti dua pilar yang saling menopang dalam keseimbangan hidupnya.

6.                  Manusia sempurna adalah manifestasi tuhan

Nur ilahi bersinar pada hati yang menjalani dunia mistik. Melihat dirinya adalah melihat Tuhan, (ada sebuah hadis dari Nabi Saw. Yang mengatakan bahwa, siapapun yang melihat diriku, dia melihat Tuhan), taat dan memuji padanya, berarti taat dan memuji Tuhan. Dengan kata lain, dia adalah sebuah cermin, yang akan merefleksikan Tuhan, nama-nama-Nya, adan sifat-sifatNya dengan sangat sempurna.

“Ketika engkau mamandang diriku, maka engkau akan melihat Tuhan: kamu telah mengelilingi ka’bah dengan keikhlasan.”[12]
“Taat kepadaku berarti menaati Tuhan yang agung: berhati-hatilah kamu, jangan berpikir bahwa Tuhan terpisah dariku.”

Buka matamu baik-baik dan pandanglah diriku, maka engkau akan melihat Nur IIahi  pada dirir seorang manusia.[13]



c.       Nilai keunggulan Konsepsi ‘Insan Kamil’ Islam versus ‘Manusia Berbudaya’
            Insanul kamil hanya ada dalam diri nabi Muhammad Saw karena ia merupakan satu-satunya rasul sekaligus nabi yang lahir dan diciptakan langsung dari cahaya Allah Swt. Bahkan sebelum bumi ini diciptakan, Adam dan Hawa diturunkan, nabi Muhammad telah ada sebelum mereka. Inilah yang menjadi sorotan bahwa hanya Rasulullah Saw yang mampu menjadi insanul kamil seutuhnya. Ini bisa didasarkan pada penciptaan dan juga bentuk penciptaan manifastasi tersebut yang langsung dari Allah Swt, artinya sesuatu akan bernilai kesucian karena langsung dari yang suci. Namun berbeda ketika kita membicarakan keturunan Rasulullah, yang jelas-jelas merupakan hasil dari proses manusia sendiri tanpa ada hal spesial yang didapatkan seperti Nabi Muhammad Saw. Sementara manusa berbudaya adalah aktivitas manusia yang melakukan aktivitas kebudayaan yanga ada. Dimana kebudayaan itu dapat mengatur kehidupan manusia, sebab berisikan nilai-nilai penting yang diciptakan manusia sendiri agar ada sebuah pengaturan hukum dalm kehidupannya. Tapi bukan berarti orang yang melahirkan ini adalah insan kamil karena mengingat hal yang mereka hasilkan adalah murni dari proses mereka berpikir dan melalui musyawarah mufakat secara bersama.
 Jika melihat dari perbandingan antara islam dan budaya, insanul kamil hanya terlahir seutuhnya untuk seorang yang lahir dari pencipta langsung. Yang dalam islam mengenal sosok Rasulullah, yakni Nabi Muhammad Saw.

II.3 KIAT-KIAT MELAHIRKAN INSAN KAMIL

a.                  Prototipe Insan Kamil dalam kehidupan Rasulullah dan generasi penerusnya.

“Demi (Allah)! Sungguh, telah ada bagi kamu pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang (selalu) mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) Hari akhir, serta yang banyak berzikir kepada Allah.” (Qs. Al-Ahzab 33:21)
Allah Swt, sebagai Tuhan semesta alam memberikan contoh model yang paling baik diantara manusia untuk dijadikan teladan abadi bagi semua umat manusia. Dalam teori keagamaan Klasik Islam, Sunnah Nabi Muhammad terdiri dari segenap tindakan (fi’l), ucapan (qaul), dan persetujuan diam (taqrir)-nya atas fakta-fakta tertentu.[14] Akhlaknya yang terpuji menjadi nilai normatif bagi generasi demi generasi kaum Muslim. Disebabkan arti-penting teladan Nabi Saw. Inilah ilmu hadis lambat-laun menempati kedudukan utama dalam kebudayaan Islam.
Sebuah hadis adalah catatan tentang ucapan atau perbuatan Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa sahabat terpercayanya, yang kemudian menyampaikannya kepada orang lain dari generasi sesudahnya. Karena itu, para sahabat Nabi adalah sumber paling penting dalam periwayatan hadis. Sebuah hadis bisa mengulas suatu masalah ritual, keimanan, dan doktrin, hukuman di akhirat, cara Nabi dalam makan, tidur, atau memberikan nasihat. Semuanya itu meliputi ucapan dan tindakan nabi dalam kehidupannya sehari-hari.
Para ulama juga menghimpun hadis-hadis tematis tentang masalah-masalah tertentu, misalnya takdir shalat, puasa, haji, atau keistimewaan hari-hari dalam seminggu. Ada juga yang menyusun Arbain (kumpulan empat puluh hadis) yang biasanya menghimpun hadis-hadis pilihan yang paling mereka sukai atau yang dipandang paling bermanfaat.kitab-kitab semacam ini diyakini mengandung rahmat dan berkah dari ucapan Nabi Saw.
Buku-buku pegangan teologi secara tepat mendefinisikan sifat-sifat seorang nabi. Demikianlah, kita bisa membaca dalam kitab sanusiyyah, sebuah buku-pegangan tentang dogma-dogma yang dipakai secara luas sejak akhir abad pertengahan: “seorang nabi memiliki empat sifat penting: dia harus jujur (shidq) dan bisa mengamban amanat (amanah); dia pasti menyampaikan Firman Allah (tabligh) dan harus bijaksana serta cerdas (fathanah). Mustahil bahwa dia akan berdusta (kidzb), tidak setia atau berkhianat (khiyanah), menyembunyikan risalah Ilahi (katman), atau bodoh (baladah).
Maulana Rumi melagukannya dalam sebuah syair pendek Arab yang indah untuk baginda Rasulullah Saw:
Hadza habibi, Hadza thabibi, hadza adibi, hadza dawa’i …
Inilah kekasihku, inilah tabibku, inilah guruku, inilah obatku ….

Qadhi Iyadh, salah satu pengagum  Nabi, yang sangat khas dalam keyakinan Muslim, menulis:
 Allah meninggikan derajat Nabi-Nya dan memberinya berbagai kebajikan, sifat terpuji, dan hak istimewa. Dia meninggikan derajatnya dengan amat mengagumkan, sehingga tak ada lidah atau pena yang sanggup melukiskannya. Dalam kitab-Nya, allah secara jelas dan terbuka menyatakan peringkatnya yang tinggi, dan memujinya karena segenap sifat dan kebiasaan mulianya. Dia memrintahkan para hamba-Nya untuk mendekatkan diri kepadanya dan mengikutinya dengan patuh. Allah Yang Maha Agung memberikan kehormatan dan karunia, menyucikan dan membersihkan, yang memuji dan memberi pahala … Dia memperlihatkan di depan mata kita sifatnya yang mulia, sempurna dan luhur dalam segala hal. Dia memberinya berbagai kebajikan sempurna, segenap sifat terpuji, kebiasaan-kebiasaan mulia, dan banyak kelebihana yang mengagumkan. Dia menunjang pesan-pesannyadengan berbagai mukjizat yang cemerlang, bukti-bukti yang jelas, dan tanda-tanda yang nyata.

Allah Swt, berfirman dalam kitab-Nya dengan menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasulullah Saw adalah juga ketaatan kepada Allah Swt:
“Barangsiapa menaati Rasul (Nabi Muhammad Saw), maka sungguh dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling, maka Kami tidak mengutusmu (Nabi Muhammad Saw) untuk menjadi pengawas mereka.” (Qs An-Nisa 4:80).

Menurut hemat kami, prototipe Insan Kamil secara sempurna ada dalam diri Rasulullah Saw. Bahkan, dalam buku Michael Hart yang membahas orang-orang yang paling berpengaruh di dunia, Nabi Muhammad Saw berada di posisi paling puncak. Selain itu, dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis sudah sangat mendukung pernyataan penulis. Adapun dalam generasinya, pada masa perjuangan Rasulullah Saw memiliki para sahabat yang dianggap sebagai generasi keemasan Islam. Mereka rela menyerahkan jiwa dan raganya untuk kejayaan Islam dan berusaha meneladani apa yang diucapakan dan diperbuat oleh Rasulullah dalam sehari-harinya. Dalam mazhab syiah, pancaran Insan Kamil telah sampai secara sempurna kepada Imam Ali dan Sayyidah Fathimah, Imam Hasan dan Husein hingga kepada keturunannya yang dikenal dengan dua belas Imam maksum. Sedangkan, dalam mazhab Sunni Abu Bakar dengan gelar Ashiddiqnya telah menyimbolkan kejujuran, Umar bin Khatab dengan gelar Al Faruq (membedakan yang haq dan bathil), Utsman bin Affan dikenal dengan kedermawanannya dan Ali bin Abi thalib dengan keilmuannya. Mereka adalah pancaran dari Insan Kamil yang dikenal dengan sebutan Khulafaurrasyidin (Orang-orang yang diberikan kelebihan).




b.      Metode membentuk atau melahirkan manusia berkarakter Insan Kamil perspektif pendidikan.
Fungsi pendidikan sangat sentral dalam humanisasi. Pendidikan dalam hal ini adalah pendidikan islam yang meletakan kedudukan manusia sebagai subjek dalam proses pembinaan dan potensi (fitrah) bawaannya.

Proses pendidikan, berusaha untuk melatih sensinbilitas manusia (peserta didik) sedemikian rupa, sehingga perilaku mereka dalam kehisupan, langkah-langkah dalam keputusan, serta pendekatan terhadap semua ilmu pengetahuan diatur dan didasarkan pada etika islam. Mereka akan terlatih dan secara mental yang sangat disiplin sehingga pengetahuan yang dimliki tidak hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu intelektual atau untuk manfaat yang sifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk rasional, makhluk berbudi, bermoral, dan spiritual dalam kehidupannya secara menyeluruh bagi kehidupan bagi kesejahteraan bagi masyarakat dan umat manusia.[15]

Proses pendidikan berupaya mengembangkan manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, spiritual, dan berpikir rasional. Artinya, proses pendidikan akan menghasilkan manusia yang beramal Illahiah sebagai manusia yang unggul atau Insan kamil.



c.       Tahap- tahap proses pembentukan atau melahirkan Insan kamil perspektif pendidikan.

Dalam pembahasan ini, penulis akan membahas bagian sub bab dari kiat-kiat melahirkan Insan Kamil dengan pendidikan berkarakter yang meliputi tiga unsur. Adapun unsur tersebut meliputi unsur jasmani, unsur rohani, dan unsur nafsani.
1.      Unsur Jasmani

Sebagaimana kesempurnaan sisi rohani manusia, sisi jasmani manusia merupakan hasil ciptaan Allah yang paling baik dinandingkan makhluk lainnya. Ibn katsir menyebutkan bahwa rupa dan bentuk manusia adalah yang terbaik.[16]

Jasmani adalah unsur biologis manusia yang menjadi wadah bagi sisi rohani yang memberi daya hidup. Jasmani tidak kekal. Ia akan menjadi mayat yang tidak lagi dapat bergerak seperti patung. Agar jasamani tidak sakit, diperlukan berbagai pemeliharaan, seperti makanan, minuman, istirahat, olahraga, dan lain-lain. Jasmani terdiri atas unsur biologis, seperti alat indera, sistem saraf, tulang, daging, jantung, darah, dan lain-lain.
Indera adalah potensi yang dimiliki manusia yang menjadikannya makhluk dengan kesempurnaan yang lengkap. Indera penglihatan. Pendengaran, penciuman, pengecapan, dan peraba, tidak hanya menjadi pelengkap pada diri manusia, tetapi seperangkat atribut yang dapat mengantarkan manusia untuk mengembangkan dan memberdayakan potensia kemanusiaannya.

2.      Unsur Rohani

Dalam bahasa Indonesia, istilah rohani menggunakan makna roh rohani. Dalam percakapan sehari-hari, rohani memiliki banyak arti. Ada yang mengatakan dengan jiwa, nyawa, spirit dan lainnya. Dalam bahasa inggris, Rohani diartikan sebagai spirit (spiritualitas): kata yang merujuk kepada kondisi keberagaman atau kebertuhanan seseorang.[17]

3.      Unsur nafsani

Nafs atau jiwa, mencakup kemauan dan naluri. Kekuatan yang mebekerja dengan sadar atau tidak sadar. Kaekuatan yang dapat menerima petunuk akal dan dapat menuruti ajakan naluri rendah hawa nafsu adalah kekuatan Nafs atau jiwa. Pada unsur inilah, sebagai makhluk psikologis, manusia memiliki ragam emosi,  akal, pikiran, dan hawa nafsu yang menggerakan perilaku manusia ke arah yang positif maupun negatif.[18]

Unsur nafsani merujuk pada aspek kejiwaan manusia. M.. Quraish shihab menyatakan bahwa nafs dalam Al-quran memunyai beberapa makna, salah satunya adalah yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku. Istilah nafs yang jamaknya anfus, dan nufus diartikan sebagai jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart), pikiran (mind).

Manusia yang terdiri atas unsur jasmani, rohani, dan nafsani yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna di muka bumi. Manusia memiliki kebebasan memilih, perilaku yang baik atau yang buruk, yang benar atau yang salah. Oleh karena itu, manusia dibekali oleh akal dan hati. Unsur-unsur yang ada pada manusia membuthkan tumbuh kembang yang sehat supaya bisa menjalankan fungsi manusia sebagai khalifatul fil ardi. Proses tumbuh kembang manusia dapat dicapai dengan optimal melalui pendidikan yang adapat mengembangkan segala unsur dan potensi yang ada pada dirinya.

Kecerdasan spiritual: upaya perbaikan diri.
Kecerdasan spiritual sangat penting adalam kehidupan, apalagi dalam dunia pendidikan. Kecerdasan spirituala adalah kemampuan untuk memberikan makna pada setiapa perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya yang memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip “hanya karena Allah”.[19]

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan jiwa. Ia dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun dirinya secara utuh. Yang kemudia, memberikan kemampuan untuk membedakan yang baik dengan yang buruk, memberi manusia kemampuan untuk emnyesuaikan dirinya dengan aturan-aturan yang baru. Kecerdasan spiritual ini berada pada bagian diri ynang paling dalam yang berhubungan langsung dengan kearifan dan kesadaran yang dengannya manusia tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada tetapi manusia secara kreatif menemukan nilai-nilai yang baru.

Setiap manusia pada prinsipnya membutuhkan kekuatan ini karena kebutuhan spiritual merupakan kebutuhan untuk mempertahankan atau menebalkan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan, menjalani hubungan, dan penuh rasa percaya kepada sang pencipta.


BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1.      Insan kamil dapat dipandang melalui ruang lingkup agama dan budaya. Banyak hal-hal yang dapat ditarik persamaan dari keduanya, karena antara agama dan budaya adalah dua unsur yang saling berkaitan. Artinya memang kedua unsur tersebut menjadi sorotan yang tidak bisa diambil dalam sisi yang mana pertama kali harus diutamakan, tapi bagaimana kedua unsur itu mampu mengantarkan pada insan kamil yang ada dalam dua pandangan tersebut.
2.      Dalam menelaah lebih dalam mengenai manusia sempurna, ada beberapa yang harus kita perhatikan terutama dalam mengenal karakteristik manusia sempurna dalam perpektif budaya dan agama islam.
3.      Setiap manusia berpotensi menjadi insan kamil, namun dalam batasan yang tidak bisa disamakan dengan Rasulullah. Artinya insan kamil dilahirkan dengan mengarahkan pada sifat-sifat yang penuh kebaikan dan bukan menjadi manusia sempurna sama dengan Rasulullah. Dalam hal ini, kita mampu melahirkan manusia-manusia yang berahlaqul karimah melalui pendidikan. Pendidikan berkarakter dan berbasis islami.




III.2 Saran-saran
Diharapkan para generasi mampu menjadi manusia sempurna yang memiliki sifat yang berkaca pada Rasulullah. Artinya berusaha menjadi manusia yang baik baik secara perbuatan, ucapan dan tingkah laku.






















DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, yadi, 2007, Psikologi Kepribadian, Bandung: Refika Aditama.

Schimmel, Annemarie, 2012, Cahaya Purnama Kekasih Tuhan, Bandung: Mizan Pustaka.

Ahmad Kamaluddin, Undang, 2013, Filsafat Manusia, Bandung: Pustaka Setia.

Mohsen Miri, Seyyed, 2004, Sang Manusia Sempurna, Jakarta: Teraju Mizan

Nugroho, Widyo dan Muchji, Ahmad, 1994, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Gunadarma




[1] Undang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia: Sebuah perbandingan Islam dan Barat, halaman 13.
[2] Berger, The Sacred Canopy: Element of a sociological theory of religion, (New York: Anchor Books 1969), halaman 7
[3] Widyo Nugroho dan Achmad Muchji, Ilmu Budaya Dasar, hal 28.
[4] Berger dalam terjemahan M. Sastrapratedja, 1991
[5] Ibid, vol. 4, bait ke 525-27
[6] Ibid. Vol. 2, bait ke 97
[7] Nicholson, vol. 5, h. 31
[8] Matsnawi, vol. 4, bait ke 521. Lihat pula Nicholson, vol. 1, h. 161
[9] Matsnawi, vol. 4, bait ke 2005. Lihat pula Nicholson, vol. 2, h. 161
[10] Ibid. Vol. 2, bait ke 815.
[11] Ibid. Vol. 2, bait ke 1308
[12] Ibid. Vol. 1, bait ke 1566067, 1569-70
[13] Ibid. Vol. 2, bait ke 2247-49
[14] Dan Muhammad adalah utusan Allah, Annemarie Schimmel. Hal. 45.
[15] http://ahmadsamanteho.wordpress.com
[16] Ibn katsir, tafsir Al-qur’an Al azzhim, jilid 4, (Beirut: Dar el –fikr, 1985), hal 480.
[17] Ibn sina, Psikologi Ibn Sina, (terj) Irwan Kurniawan, (Bandung:Pustaka Hidayah, 2009), hal 82-88
[18] A.E Afifi, physical philoshopy of muhyiddin Ibn Arabi, (terj) (jakarta:gaya media pratama, 1989), hal 106
[19] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual Esq, cet ke-1, (jakarta:arga 2001), hal 57.
Comments
0 Comments

0 komentar:

Recent Comments

followers

About Me