PEMBAHASAN
A.
Perjalanan Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad
Al-Thusi Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan pada 450 H/1058 M. Ayahnya seorang
penenun wool (ghazzal) yang kemudian turut memberikan julukan
Al-Ghazali.[1] Setelah
ayahnya meninggal, Al-Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (w. 1126) dititipkan
kepada seorang sufi. Dari sini juga Al-Ghazali belajar Al-quran dan Hadis,
mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah dan menghapal puisi cinta mistis.[2]
Namun tidak berlangsung lama karena masalah ekonomi, ia pun dikirim kembali ke
sebuah madrasah tempat dia pertama kali belajar fiqih dari Ahmad Al-Radzkani
semasa ayahnya masih hidup dulu.[3]
Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Thus kemudian dilanjutkan di Jurjan. Ia
belajar dalam bidang hukum (Fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili
(1015-1085 M) sebelum berusia 15 tahun.[4]
Pada usia 17 tahun ia kembali ke Thus, sebelum usia 20 tahun dan tiga tahun
menuju itu, Al-Ghazali pertama kali menyusun karyanya yang diberi judul al-Mankhul
min ‘ilm al-ushul (Ikhtisar Ilmu Tentang Prinsip-prinsip), membahas
metodologi dan teori hukum.[5]
Lalu ketika usianya 20 tahun, ia
pergi ke Nisabur untuk kembali mendalami ilmu fiqih juga ilmu teolog dari
seorang Al-Juwaini (1028-1085 M). Dimana Al-Juwaini merupakan tokoh yang
berperan penting dalam mengangkat dunia keilmuwan teolog Asy’ariah. Karena
kehebatan Al-Ghazali dalam mendalami ilmu dari seorang gurunya itu, ia kemudian
menjadi asisten sampai sang guru wafat (478/1085 M).[6]
Menurut Tajuddin Al-Subki (w. 1379)[7]
mengatakan bahwa Al-Juwanini adalah orang yang pertama kali pula memperkenalkan
kepada Al-Ghazali mengenai filsafat, termasuk logika dan filsafat alam dalam
ranah disiplin teolog. Selain mendalami ilmu fiqih dan teologi, selama di
Nisabur Al-Ghazali juga belajar sekaligus mempraktekan ilmu tasawuf di bawah
bimbingan Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084), seorang tokoh sufi dari Thus,
merupakan murid dari Al-Qusyairi (986-1072 M).
Pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-Mulk (1063-1092 M), wazir dari Sultan Malik Syah 1
(1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad.[8]
Undangan dan permintaan itu diberikan kepada Al-Ghazali menurut Osman Bakar
karena memang kekuasaan saat itu berada di bawah kekuasaan Bani Saljuk
(1037-1194 M) yang bermazhab Syafi’i dan menganut teologi Asy’ari (874-936 M).
Hal ini juga dipengaruhi oleh kepentingan para politisi kala itu untuk tetap
memberikan pertahankan kuat terhadap kelompoknya sekaligus kedudukan yang
sedang berkuasa. [9]
Selama di Baghdad inilah Al-Ghazali berhasil menyelesaikan kajian terkait
tentang filsafat, teolog, ta’limiyah dan juga tasawuf yang menjadi ciri khasnya
sampai sekarang. Di Baghdad pula, sang pemikir Islam ini secara produktif
menulis banyak karya sebagai sumbangsihnya kepada dunia islam. Namun dalam
perjalanan itu, Al-Ghazali mendapati masalah dari keempat ilmu yang
dipelajarinya. Dalam hal ini ia dikatakan mengalami krisis epistimologis hingga
membuatnya harus mengundurkan diri dari jabatan yang sedang didudukinya. Secara
khusus krisis itu merupakan krisis dalam menentukan hubungan yang tepat antara akal dan intuisi
intelektual. [10]Sebagai
pelajar muda, Al-Ghazali dibingungkan oleh pertentangan antara kehendak akal di
satu pihak sehingga membuat dia ragu akan kebenaran yang ditangkap oleh indera
dan data rasional.
Dari sinilah, prilaku dan sikap pengasing Al-Ghazali pun dimulai selama 10
tahun, ke Damskus, Yerusalem, Makkah, ke Damaskus lagi dan akhirnya kembali ke
tempat awal, yakni Baghdad.[11]Al-Ghazali
menyatakan bahwa di terbebas dari masa krisi itu karena dari cahaya (nur)
yang disusupkan Tuhan ke dalam dadanya, bukan melalui argumen-argumen rasional
atau bukti rasional. Dari sini lahir sebuah teori bahwa intuisi intelektual
bersifat superior terhadap akal. [12]
Setelah lama dalam pengasingan spritual, Al-Ghazali meyakini bahwa kaum
sufilah yang dapat menempuh jalan menuju Tuhan secara benar dan langsung
sehingga ketika itu pula membuat sang filosof ini mulai memikirkan dekedensi
moral dan religius para kaum muslimin saat itu. Dari hasil pergulatannya itu,
Fakhr Al-Mulk, penguasa Khurasan (1095-1113 M) meminta Al-Ghazali untuk
mengajar di Nisabur (1105 M). Akan tetapi keberadaanya tersebut tida
berlangsung lama, hanya sekitar 5 tahun dan kemudian ia pun kembali lagi ke
daerah asalnya, Thus. [13]
Setelah kembali ke Thus, dari sini Al-Ghazali mendirikan sebuah madrasah
dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para sufi. Ia pun menghabiskan
sisa hidupnya sebagai pemgajar dan guru sufi. Pada hari Ahad, 18 Desember 1111
M ia meninggal dunia dalam usia 53 tahun.