PEMBAHASAN
A.
Perjalanan Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad
Al-Thusi Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan pada 450 H/1058 M. Ayahnya seorang
penenun wool (ghazzal) yang kemudian turut memberikan julukan
Al-Ghazali.[1] Setelah
ayahnya meninggal, Al-Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (w. 1126) dititipkan
kepada seorang sufi. Dari sini juga Al-Ghazali belajar Al-quran dan Hadis,
mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah dan menghapal puisi cinta mistis.[2]
Namun tidak berlangsung lama karena masalah ekonomi, ia pun dikirim kembali ke
sebuah madrasah tempat dia pertama kali belajar fiqih dari Ahmad Al-Radzkani
semasa ayahnya masih hidup dulu.[3]
Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Thus kemudian dilanjutkan di Jurjan. Ia
belajar dalam bidang hukum (Fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili
(1015-1085 M) sebelum berusia 15 tahun.[4]
Pada usia 17 tahun ia kembali ke Thus, sebelum usia 20 tahun dan tiga tahun
menuju itu, Al-Ghazali pertama kali menyusun karyanya yang diberi judul al-Mankhul
min ‘ilm al-ushul (Ikhtisar Ilmu Tentang Prinsip-prinsip), membahas
metodologi dan teori hukum.[5]
Lalu ketika usianya 20 tahun, ia
pergi ke Nisabur untuk kembali mendalami ilmu fiqih juga ilmu teolog dari
seorang Al-Juwaini (1028-1085 M). Dimana Al-Juwaini merupakan tokoh yang
berperan penting dalam mengangkat dunia keilmuwan teolog Asy’ariah. Karena
kehebatan Al-Ghazali dalam mendalami ilmu dari seorang gurunya itu, ia kemudian
menjadi asisten sampai sang guru wafat (478/1085 M).[6]
Menurut Tajuddin Al-Subki (w. 1379)[7]
mengatakan bahwa Al-Juwanini adalah orang yang pertama kali pula memperkenalkan
kepada Al-Ghazali mengenai filsafat, termasuk logika dan filsafat alam dalam
ranah disiplin teolog. Selain mendalami ilmu fiqih dan teologi, selama di
Nisabur Al-Ghazali juga belajar sekaligus mempraktekan ilmu tasawuf di bawah
bimbingan Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084), seorang tokoh sufi dari Thus,
merupakan murid dari Al-Qusyairi (986-1072 M).
Pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-Mulk (1063-1092 M), wazir dari Sultan Malik Syah 1
(1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad.[8]
Undangan dan permintaan itu diberikan kepada Al-Ghazali menurut Osman Bakar
karena memang kekuasaan saat itu berada di bawah kekuasaan Bani Saljuk
(1037-1194 M) yang bermazhab Syafi’i dan menganut teologi Asy’ari (874-936 M).
Hal ini juga dipengaruhi oleh kepentingan para politisi kala itu untuk tetap
memberikan pertahankan kuat terhadap kelompoknya sekaligus kedudukan yang
sedang berkuasa. [9]
Selama di Baghdad inilah Al-Ghazali berhasil menyelesaikan kajian terkait
tentang filsafat, teolog, ta’limiyah dan juga tasawuf yang menjadi ciri khasnya
sampai sekarang. Di Baghdad pula, sang pemikir Islam ini secara produktif
menulis banyak karya sebagai sumbangsihnya kepada dunia islam. Namun dalam
perjalanan itu, Al-Ghazali mendapati masalah dari keempat ilmu yang
dipelajarinya. Dalam hal ini ia dikatakan mengalami krisis epistimologis hingga
membuatnya harus mengundurkan diri dari jabatan yang sedang didudukinya. Secara
khusus krisis itu merupakan krisis dalam menentukan hubungan yang tepat antara akal dan intuisi
intelektual. [10]Sebagai
pelajar muda, Al-Ghazali dibingungkan oleh pertentangan antara kehendak akal di
satu pihak sehingga membuat dia ragu akan kebenaran yang ditangkap oleh indera
dan data rasional.
Dari sinilah, prilaku dan sikap pengasing Al-Ghazali pun dimulai selama 10
tahun, ke Damskus, Yerusalem, Makkah, ke Damaskus lagi dan akhirnya kembali ke
tempat awal, yakni Baghdad.[11]Al-Ghazali
menyatakan bahwa di terbebas dari masa krisi itu karena dari cahaya (nur)
yang disusupkan Tuhan ke dalam dadanya, bukan melalui argumen-argumen rasional
atau bukti rasional. Dari sini lahir sebuah teori bahwa intuisi intelektual
bersifat superior terhadap akal. [12]
Setelah lama dalam pengasingan spritual, Al-Ghazali meyakini bahwa kaum
sufilah yang dapat menempuh jalan menuju Tuhan secara benar dan langsung
sehingga ketika itu pula membuat sang filosof ini mulai memikirkan dekedensi
moral dan religius para kaum muslimin saat itu. Dari hasil pergulatannya itu,
Fakhr Al-Mulk, penguasa Khurasan (1095-1113 M) meminta Al-Ghazali untuk
mengajar di Nisabur (1105 M). Akan tetapi keberadaanya tersebut tida
berlangsung lama, hanya sekitar 5 tahun dan kemudian ia pun kembali lagi ke
daerah asalnya, Thus. [13]
Setelah kembali ke Thus, dari sini Al-Ghazali mendirikan sebuah madrasah
dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para sufi. Ia pun menghabiskan
sisa hidupnya sebagai pemgajar dan guru sufi. Pada hari Ahad, 18 Desember 1111
M ia meninggal dunia dalam usia 53 tahun.
B. Karya
Intelektual Al-Ghazali
Selama hidupnya Al-Ghazali begitu semangat dalam menelurkan karya-karya
besar dari hasil pemikirannya itu. Terbukti dari hasil produktivitas menulis,
beberapa buku-buku dan tulisan memberikan referensi berskala panjang bagi
peradaban dan kemajuan dunia Islam. Menurut penelitian Saiful Anwar, setidaknya
ada 72 karya tulis yang telah diwariskan oleh Al-Ghazali, yang kemudian dibagi dalam
beberapa tema. [14] Salah
satu karya yang sangat fenomenal dalam kalangan muslim dan barat pun demikian
adalah karyanya yang berjudul Ihya’ Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali
Ilmu-Ilmu Religius), sebuah kitab yang ditulis sebagai dasar untuk memulihkan
keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam.
Selain itu, karya lainya juga tidak kalah famor. Di dalam bidang logika dan
filsafat, Mi’yar al-‘Ilm (Standar Pengetahuan), Tahafut al-Falasifah
(Keracancuan Para Filsuf), dan Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq (Batu Uji
Pemikiran Logis). Dalam bidang teolog ada Qawa’id al-‘Aqa’id
(Prinsip-Prinsip Keimanan) dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Muara
Kepercayaan). Dalam bidang ushul fiqih; al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul
(Intisari Ilmu tentang Pokok-pokok Yurisprudensi) dan Al-Mankhul min ‘Ilm
al-Ushul (Ikhtisar Ilmu tentang Prinsip-prinsip). Dan dalam bidang tasawuf
ada Al-Kimia al-Sa’adah (Kimia Kebahagian), Misykat al-Anwar
(Ceruk Cahaya-Cahaya) dan dalam kebatinan; Qisthas al-Mustaqim (Neraca
yang Lurus) dan Al-Mustadzhir.
Al-Ghazali menyelesaikan karya pertamanya dalam filsafat, Maqasid
al-Falasifah (Maksud para Filosof)[15]antara
tahun 486/ 1093 M[16].
Di dalam filsafat ini berisi rangkumam filsafat Peripatetik yang didasarkan
atas karya Ibn Sina (Danisynama-yi ‘ala’i (Kitab Ilmu yang
Dipersembahkan kepada Daulah). Ini ditulis sebagai mukadimah bagi Tahafut
al-Falasifah yang diselesaikan apda 11 Muharram 488/21 Januari 1095.[17]
Tahafut adalah polemik negatif terhadap filsafat Al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam
kitab ini menjelaskan pandangan Al-Ghazali sendiri tentang persoalan yang
dipermasalahkan. Menurut Nasr, Tahafut melumpuhkan filsafat rasionalistik dan
menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang berbeda dari gnosis dan teolog
di seluruh wiayah Arab dunia Islam.[18]
Dalam Jawahir Al-Qur’an (The Jewels of the Qur’an), dia menceritakan
kepada kita bahwa Tahafut adalah sebuah karya dalam ilmu kalam karena
menolak kesesatan dan bid’ah, menghilangkan keraguan dan menjaga kepercayaan
agama orang awam dari keragu-raguan yang diciptakan oleh ahli bid’ah.
Lama sebelum Al-Ghazali menulis Tahafut, dia menganut doktrin Sufi bahwa
‘Cahaya Intuisi’ lebih unggul dibandingkan akal. Kini, setelah studi
filsafatnya yang mendalam, dia menuduh para filosof mengklaim kemampuan
memahami segala sesuatu melalui akal semata,[19]bertentang
bukan hanya dengan klaim teologis yang menududkan akal untuk tunduk kepada
iman, tetapi juga dengan klaim Sufi bahwa cahaya intuisi adalah kunci
keyakinan.
Oleh karena itu, Al-Ghazali adalah seorang filosof karena dia tahu filsafat
dan kritik-kritiknya bersifat filosofis. Tetapi, sebagai seorang filosof dia
membatasi ruang gerak rasionalisme Muslim dan meratakan jalan bagi penyebaran
doktrin Iluminasionis Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis mazhab Ibn ‘Arabi (w.
638/1240).[20]Respon
yang paling terkenal terhadap serangan Al-Ghazali atas Aristotelianisme Muslim
adalah dalam karya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Karancuan).
Karakter Tahafut sebagai karya kalam sekaligus filsafat dapat
dilihat dari dua karya yang mengiring sebelumnya, yakni Mi’yar al-‘Ilm
(Standar Pengetahuan), sebuah karya terntang logika Aristotelian yang
menjelaskan metode-metode penalaran dan istilah-istilah teknis para filosof
yang digunakan dalam Tahafut. Dan yang kedua, yakni Qawa’id
al-‘Aqa’id (Prinsip-Prinsip Keimanan) pandangan-pandangan positifnya yang
meluruskan kesalahan-kesalahan para filosof , dimana menyinggung tentang maksud
dan tujuannya itu terhdap menulis Tahafut al-Tahafut. Dalam filsafat,
Al-Ghazali menyatakan bahwa tulisan terbaik para filosof Muslim adalah karya
Al-Farabi dan Ibn Sina.[21]
C. Krisis spritual
dan pengasingan yang dilakukan Al-Ghazali
Dalam otobiografinya, Al-Ghazali mengaku bahwa dalam bulan Rajab 488/ Juli
1095, sekita 6 bulan setelah karya Tahafut-nya selesai, dia mengalami
krisis pibadi kedua karena studi Sufismenya. Dia menyatakan bahwa telah
menguasai doktrin dan ajaran Sufisme baik melalui tulisan para Sufi kala itu
seperti Al-Muhasibi 9w. 243/873), Al-Junaid (w. 298/854), Al-Syibli (334/945),
dan Al-Basthami (w. 262/875) maupun juga pengajaran lisan. [22]Dia
tidak mengidentifikasi sumber-sumber lisan ini, tetapi slaah satunya mungkin
adalah saudaranya sendiri, Ahmad.[23]
Al-Ghzali menyimpulkan bahwa Sufi adalah para penguasa keadaan-keadaan dan
bukan pemasok kata-kata.[24]
Dia menyadari ada perbedaan besar antara pengetahuan teoritis dengan
pengetahuan yang disadari. Bagi satu-satunya harapan mencapai kepastian dan
kenikmatan dalam kehidupan nanti hanya terletak di jalan kaum Sufi.[25]
Krisis kedua yang dialami Al-Ghazali ini jauh lebih serius daripada krisis
pertamanya karena melibatkan suatu keputusan untuk melepaskan satu jenis
kehidupan demi kehidupan lain yangs secara esensial bertentang dengan yang
terdahulu. Krisis ini pula yang mempengaruhi emosional dan fisiknya sehingga
menyebabkan gangguan dalam bicara yang notabene menggangu pula proses aktivitas
mengajarnya. Berbeda dengan krisi pertama terkait soal metodologis
mutakallimun, filosof, Ta’limiyah dan Sufi, dimana mengalami krisis
epistimologis dalam skema total pengetahun yang menetapkan hubungan yang tepat
antara akal dan intuisi intelektual.
Pada Dzulkaidah 488/November 1095 Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dengan
dalih ingin melakukan haji ke Mekkah. Padahal sebenarnya ia ingin melepaskan
diri dari karir mengajar dan mencurahkan sepenuhnya pada jalan sufi. Selama
sebelas tahun, Al-Ghazali menempuh kehidupan asketik (Zuhud) dan kontemplatif
(Tafakur). Setelah menjalani aktivitas itu dan menemukan jalannya, pada
Dzulkaidah 499/ Juli 1106, dia kembali mengajar, hanya saja di Naisyapur.
Pengasing Al-Ghazali dari khalayak umum mengudang ketertarikan para sarjana
dari sejak masanya hingga sekarang bahkan untuk melakukan diskusi dan kajian
atas tindakan Al-Ghazali. Pelbagai asumsi dihasilkan dari pemikir sarjana
modern, mulai dari usulan Pater Jabre yang mengatakan bahwa Al-Ghazali
mengalami ketakutan akan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah. Bahkan
Al-Baqari mengatakan bahwa Al-Ghazali tengah mencari kemasyhuran dan kesucian
jenis lain sebagai pembaharu religius. Di lain tokoh, McCarthy berpendapat
bahwa cerita Al-Ghazali sendiri adalah motif untuk pengalihan ke Sufisme.
Al-Ghazali melakaukan pengasingannya pertama kali di Masjid Umayyah di
Damaskus. Di sini pula mempertemukannya dengan seorang guru sufi di kota Damaskus
yang bernama Abu’l Fath Nashr ibn Ibrahim Al-Maqdisi Al-Nnabulusi (w. 490/
1097), yang juga merupakan seorang sarjana terkemuka bermazhab Syafi’i di
Syiria. [26] Namun
ketika Al-Ghazali melakukan perjalanan ke Yerusalem dan Mekkah untuk
menjalankan haji dan setiba kepulangnya lagi ke Damaskus, ia mendapati Syaikh
Nashr baru saja meninggal dunia. Tinggal untuk beberapa lama, lalu kemudian ia
pun kembali lagi ke Baghdad pada Jumada II 490/ Juni 1097.
Selama di Baghdad Al-Ghazali tidak menjalankan aktivitas spritualnya
seperti biasa karena masalah keluarga dan ganguan yang lain. Keresahan ini pun
akhirnya membuat ia meninggalkan Baghdad dan kembali ke Thus pada 492/1099
hingga ajal menjemputnya.
Perjalan Al-Ghazali dari masa ke masa[27]
445/1053
|
Awal terjadinya penyiksaan terhadap kaum
Asy’ari di Khorasan. Al-Juwaini pindah ke Hijaz; Abu I-Qasim al-Qushayri
disandera di Nishapur, ibukota Khorasan.
|
Sekitar 448/1056
|
Al-Ghazali lahir di Tabaran.
|
455/1063
|
Kematian Sultan Toghril-Bey dan membuat
masalah penyikasaan terhadap kaum Asy’ari pun berakhir. Kemudian Al-Juwaini
pun kembali ke Nishapur dan menjadi kepala sekolah di Nizamiyya Madarasah
karena pengganti dari Sultan Toghril-Bey adalah Nizam al-Mulk adalah pengikut
paham Asy’ari.
|
Sekitar 461/1069
|
Di usia 3 tahun Al-Ghazali terjun ke dalam
lautan pengetahuan agama. Setelah belajar dengan guru setempat di Thus, dia
kemudian masuk ke sekolah Nizamiyya di Nashapur dan belajar dengan
Al-Juwaini.
|
465/1072
|
Anak Maliksha menjadi sultan (Nizam
al-Mulk). Ketika masa ini, Al-Ghazali dikirim sebuah surat untuk bergabung ke
pemerintahan Maliksha.
|
Sekitar 473/1080
|
Al-Ghazali menyusun buku pertamanya,
al-Mankhul
|
478/1085
|
Al-Juwaini meninggal di Nishapur. Al-Ghazali
bergabung ke dalam kelompok Mu’askar dari Nizam Al-Mulk. Dari sini,
Al-Ghazali menghabiskan sebagaian besar waktnya di Saljuk ibukota Isfahan.
|
Jumada 1 484/July 1091
|
Al-Ghazali tiba di Baghdad setelah dari
Isfahan untuk mengajar di sekolah Nizamiyya.
|
Ramadhan 485/oktober 1092
|
Kelompok Nizam al-Mulk melakukan perjalanan
antara Isfahan dan Baghdad
|
Syawal 485/November 1092
|
Kematian Malikshah di Baghdad. Al-Ghazali
diminta untuk melakukan negoisasi dengan Terken Khatun untuk mengangkat kedua
anak Malikshah, yakni Berk-Yaruq dan Mahmud (keduanya saudara tiri), siapa
yang akan menjadi penerus dari Malikshah untuk ditunjuk sebagai Sultan.
|
Muharram 487/ Februari 1094
|
Kematian Mahmud dan Ibunya, Terken Khatun
akhirnya mengangkat Berk-Yaruq sebagai Sultan dari Dinasti Saljuk.
|
Muharram 488/Faberuari 1095
|
Al-Ghazali menyelesaikan karyanya yang
berjudul kerancuan para filosof (Tahaful al-Falasifah)
|
Dzulhijah 488/ November 1095
|
Al-Ghazali tiba-tiba mengundurkan diri dari
sekolah Nizamiyya, meninggalkan Baghdad menuju ke Damaskus
|
Musim panas 489/1096
|
Al-Ghazali melakukan perjalanan dari Damskus
ke Yerusalem
|
Dzulhijah 489/Oktober-November 1096
|
Al-Ghazali mengunjungi Hebron untuk ziarah
ke makam nabi Ibrahim. Kemudian dar Hebron ia melanjutkan ke Mekkah untuk
naik haji.
|
Dzulhijah 489/November-Desember 1096
|
Ziarah ke Mekkah dan kemudian ke Madina
|
Muhamrram 490/Januari 1097
|
Al-Ghazali kembali ke Damaskus, guru Sufinya
Abu’I Fath Nashr baru saja meninggal dunia. Dia tinggal untuk beberapa bulan
saja dan kemudian kembali lagi ke Baghdad
|
Jumada II 490/Mei-Juni 1097
|
Al-Ghazali tiba di Baghdad.
|
490/1097
|
Berk-Yaruq mengangkat saudara tirinya Sanjar
sebagai gubernur dari Khorosan. Dia memerintah di Khorosan sampai beberap
tahun hingga akhirnya meninggal pada 552/1157.
|
Musim gugur 490/1097
|
Al-Ghazali meninggalkan Baghdad karena
Khorosan.
|
Dzulhijjah 490/ November 1097
|
Al-Ghazali tiba di Khorasan. Dia membangun
sebuah madrasah dan Khanaqah di Tabaran, Thus. Dimana ia mengajar
banyak pelajar
|
497/1104
|
Berk-Yaruq membentuk ekpansi wilayah dengan
menugaskan Muhammad Tapar dan Sanjar. Muhammad Tapar di wilayah Persia,
Jazira, Syiria dan sementara Sanjar di Khorasan, daerah-daerah yang masih
tersisa.
|
489/1105
|
Berk-Yaruq meninggal. Muhammad Tapar menjadi
Sultan di Isfahan. Sanjar tetap menghabsikan sisa pemerintahannya sebagai
gubernur di Khorasan.
|
Musim panas 499/1106
|
Al-Ghazali mulai mengajar di sekolah
Nizamiyya di Nishapur di bawah kendali pemerintahan Sanjar atas permintaan
Fakhr al-Mulk.
|
Muharram 500/ Sepetember 1106
|
Ismailliyah menyerang kelompok Fakhr al-Mulk
|
Sekitar 502/ 1109
|
Al-Ghazali menyusun sebuah karya Nasihat
al-muluk
|
Musim gugur 504/1110
|
Al-Ghazali melakukan pengasingan diri selama
kurang lebih 13 tahun.
|
14 Jumada II 505/ 18 Desember 1111
|
Al-Ghazali meninggal di biara sufinya (Khanaqah)
|
D. Pemikiran
Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan tokoh besar dalam sejarah reaksi Islam terhadap
Neo-Platonisme. Selain dianggap sebagai bagian dari filosof, ia juga sebagai
ahli hukum, teolog, dan sufi. Dalam Autobiografi Al-Ghazali menceritakan bahwa
ia diliputi oleh hasrat yang sangat kuat akan kebenaran, tapi ia pun tidak bisa
memungkiri bahwasannya telah mengalami kegelisahan akibat munculnya konflik
keyakinan dan kepercayaan dan kejumudan terhadap sikap taklid orang-orang awam
yang tunduk secara buta kepada otoritas-otoritas terdahulu mereka. Karena itu
ia pun memutuskan untuk mencari pengetahun yang pasti yang didefinisikan
sebagai suatu pengetahuan dimana objek diketahui dalam suatu cara yang sama sekali
tidak membuka peluang keraguan untuk masuk.[28]
Ketika mencari pengetahun seperti itu, Al-Ghazali pun menyimpulkan bahwa
satu-satunya pengetahuan yang cocok dengan tuntutan ini adalah pengetahuan
indera dan pengetahuan tentang proposisi yang terbukti dengan sendirinya. Namun
sayang, pada ujung pencarian itu dengan segala tanduk keraguan yang
bergentayang di dalam dirinya, ia kembali disadarkan bahwa pengetahuan seperti
itu tidak ada.
Mengapa Al-Ghazali menganggap bahwa pengetahuan indera itu meragukan? Dalam
kasus yang pertama, indera kita sering memutuskan bahwa objek itu begini dan
begitu, tetapi keputusan itu ditumbangkan oleh akal. Sebagai contoh, kita
memandang bayangan dan menyimpulkan bahwa bayangan itu tidak bergerak, namun
setelah beberapa waktu kemudian kita terpaksa mengubah persepsi itu karena
ternyata bayangan itu bergerak. Seolah kita terpaksa untuk mengakui hal
demikian. Lalu contoh lainnya adalah ketika kita melihat sebuah objek yang jauh
sepert planet, yang nampak oleh mata kita adalah hanya sebuah ukuran yang
sebesar uang logam, padahal pembuktian yang dilakukan oleh Astronomis memaksa
kita percaya bahwa planet-planet itu pada kenyataanya beberapa kali lebih besar
ketimbang bumi.
Jika pengalaman indera tidak dapat dipercaya, seperti pada kasus di atas,
maka berdasarkan analogi pengetahuan, proposisi-proposisi atau aksioma-aksioma
juag tidak dapat dipercaya. Selain itu akal pun akan meragukan hal demikian.
Oleh sebab itulah mengapa Al-Ghazali mengakui bahwa otoritas akal tidak
sepenuhnya bisa menjamin hal kebenaran mutlak untuk diterima. Imbasnya adalah
akal dan indera pun tidak saling bekerja sama.
Serangan Al-Ghazali yang ditujukan kepada dua tokoh Neoplatonisme Muslim
terkemukan itu (Al-Farabi dan Ibn Sina) secara langsung dan secara tidak
langsung terhadap Aristoteles adalah mengenai enam belas proposisi (pernyataan)
metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama
dan dimana seorang Mukmin mesti diingatkan. Dalam proposisi-proposisi itu ada
tiga hal yang menurutnya menyalahi jika dilihat dari pandangan agama sehingga
apabila ada orang yang membenarkannya akan dikatakan murtad.
Apakah salah satu proposisi itu? alah satu dari proposisi itu adalah tentang
keabadian dunia a parte ante, pengetahuan Tuhan hanya atas hal-hal yang
universal dan penolakan terhadap terhadap kebangkitan jasmani. [29]
Pandangan-pandangan para filosof terhadap keabadian dunia dinyatakan oleh
Al-Ghazali dalam tiga bagian: pertama, pandangan mayoritas yang luas,
purbakal maupun modern yang mempercayainya sebagai abadi; kedua, pandangan
Plato yang mempertahankan bahwa dunia diciptakan dalam waktu.[30]
Dan pandangan Galen yang menunda keputusan dalam pokok soal ini.[31]
Dalam sanggahannya terhadap kaum eternalis, Al-Ghazali menyatakan bahwa
dunia diciptakan dalam waktu melalui suatu keputusan Tuhan yang abadi. Dalam
kaitan ini ia menolak tuntutan bawa selang waktu yang memisahkan keputusan yang
abadi. Tuhan dengan penciptaan dunia memasukan anggapan bahwa Tuhan tidak dapat
menyelesaikan penciptaan sekaligus. Tuntutan ini menurut Al-Ghazali tidak
bersandar pada dasar-dasar demonstratif, melainkan hanya semata-mata merupakan
sebuah dogmatis.[32]
Dalam sanggahanya terhadap Ibn Sina yang beragumen bahwa Tuhan mendahului
dunia dalam esensi, ketimbang dalam waktu. Al-Ghazali mengambil sebuah
keputusan yang kuat dan tegas dalam mendukung penciptaan dalam waktu. Ketika
kita mengatakan bahwa Tuhan mendahului dunia, itu artinya bahwa Tuhan itu ada
sementara dunia tidak ada, dan terus ada bersama dengan dunia. Apa yang
dinyatakan dalam dua proposisi ini adalah eksistensi sebuah entitas (Tuhan)
yang diikuti oleh kedua entitas bersama-sama. [33]
Penggambaran mengenai wktu hanya sebuah permainan imajinasi yang mengharuskan
kita menggambarkan kedua entitas itu terjalin erat melalui waktu (Tertium
quid).
a. Bentuk dan
sifat Realitas
Menurut Al-Ghazali dari semua realitas yang ada, secara bentuk ada dua
bagian yakni; empirik atau alam inderawi (‘alam al-syahadah) dan
metafisik atau alam tidak kasat mata (‘alam al-malakut atau ‘alam al-ghaib).[34]
Bentuk realitas ini tidak sama dan tidak pula sederajat, tetapi berbeda dan
berjenjang secara hierarkis. Kita bisa membandingkan antara dua alam ini
seperti kulit dengan isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan
dengan cahaya, atau kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam
atas, alam ruhani, dan alam nurani, sementara alm syahadah adalah alam bawah,
alam jasmani, dan alam gelap.[35]
Alam realitas yang ada ini menurut Al-Ghazali tersusun secara hierarkis
sebagaimana hierarki cahaya di atas, dimana cahaya yang paling dekat dengan
sumber cahaya pertama dinilai akan lebih utama dan sempurna dibandingkan cahaya
di bawahnya. Dimulai dari alam indera yang merupakan realitas paling bawah dan
rendah, naik pada alam ghaib pertama, kedua hingga seterusnya hingga menuju
pada alam ghaib pertama yakni Tuhan.
Lalu kemudian dengan alam ghaib (metafisik) disebut juga sebagai alam
ilahiyah. Meski tidak bisa ditangkap oleh indera, menurut Al-Ghazali alam itu bisa disaksikan dengan mata hati (al-bhasirah)
yang telah tersucikan. Ketidakmampuan itu pun disebabkan oleh kelemahan pada
diri seseorang dimana mata indera tidak mampu melakukan sesuatu yang di luar
dirinya. Nah, di sinilah mata hati berperan sebagai pemilik pengetahuan dan
kemampuan membaca di luar dirinya. Mata indera tidak dapat melihat sesuatu yang
terlalu dekat dan terlalu jauh, sementara mata hati tidak ada mempermasalahkan
hal itu, jauh dan dekat sama saja. Ketiga, mata indera tidak dapat menembus
sesuatu yang terhijab, sedangkan mata hati dapat menembus itu. Keempat, mata
indera hanya dapat menangkap hal-hal bagian luar serta bagian permukaan segala
sesuatu dan bukan bagian dalam atau hakikatnya. Berbeda dengan mata hati yang
dapat menerobos bagian dalam tersebut sekaligus menembus rahasia-rahasi,
mengungkap suatu hakikat, menyimpulkan sebab-akibat dan sifat-sifatnya. Dan
terakhir, mata indera hanya mampu menangkap sebagian kecil dari realitas. Ia
tidak dapat menangkap sesuatu yang terjangkau nalar dan perasaan atau bisa dikatakan bahwa mata indera hanya
bisa menerima jangkauan pada alam warna dan bentuk saja, yaitu sesuatu yang
menjadi realitas terendah.[36]
Dari segi sifat, realitas juga dibagi menjadi dua yaitu; aktual dan
potensial. Wujud aktual adalah segala realitas yang mempunyai eksistensi di luar
mental atau persepsi manusia. Ia hanya memiliki hakikat pada dirinya sendiri.[37]
Realitas ini mencakup semua partikular, baik yang sensual (mahsusat),
yaitu segala materi yang dengan segala sifat fisiknya, seperti bentuk, warna,
ukuran dan maupun yang partikular non-sensual (ghair al-mahsusat), yaitu
segala sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri yang diketahui secara a priori
seperti potensi panca indera, kemampuan, akal dan seterusnya. [38]
Berikutnya adalah wujud potensial adalah segala realitas yang eksistensinya
hanya ada dalam mental dan pikiran. Wujud terbagi dalam tiga bagian yaitu; wujud
al-hissi, wujud al-khayali, dan wujud al-aqli. Wujud al-hissi adalah
sesuatu dalam potensi indera sebagai sense datum, yaitu hasil persepsi langsung
dari indera terhadap objek dan peanmpakan dunia luar pada indera yang bukan
merupakan substansi objek yang sesungguhnya, melainkan hanya halusinasi,
seperti apa yang dilihat oleh orang yang sakit dan orang tidur. Kemudian wujud al-khayali adalah gambar sebuah
objek yang ada dalam potensi khayal (common sense). Data yang
terinternalisasi dalam mental dan disimpan dalam potensi memori seseorang. Dan
terakhir, wujud al-aqli ialah makna abstrak yang ditangkap oleh rasio
dari sebuah objek berdasarkan sense data (gabungan yang pertama dan kedua),
tetapi terlepas dari pengaruh indera dan khayal sendiri, seperti pemahaman
bahwa hakikat manusia adalah hewan berpikir. Menurut Saiful Anwar[39]
konsep Al-Ghazali tentang wujud aktual dan potensial disadur dari pemikiran
Al-Farabi dan Ibn Sina.
Dalam kaitanya dengan Ontologi, wujud aktual dan potensial berhubungan
dengan kontengensi dan necessitas. Menurut Al-Ghazali tidak jauh dari
pemikirannya Al-Farabi bahwa wujud aktual adalah sesuatu yang telah ada secara
konkret, nyata yang disebut necessitas (wujud al-wujud). Sementara wujud
potensial adalah sesuatu yang masih ada dalam konsep atau ide dan siap untuk
menjadi wujud konkret yang mengenal ruang dan waktu. Namun wujud potensial ini
masih dalam posisi mumkin al-wujud (kontengensi), yang kemungkinan
adanya lebih kuat dari tidak adanya sehingga ia akan tetap dalam kondisi
seperti itu sebelum berubah menjadi realitas yang aktual.[40]
b. Partikular dan
Universal
Dari segi kuantitas, realitas dibagi dalam dua kelompok yaitu; partikular (Juz’iyyat)
dan universal (kulliyyat). Partikular adalah wujud rinci yang
diklasifikasikan berdasarkan atas 10
kategori Aristoteles: subtansi, aksiden, kuantitas, kualitas, relasi, di mana,
kapan, postur, posesi, aksi, dan passi.[41]
Kaum neo-platonis menolak konsep ini, sedangkan Al-Ghazali menerima karena
menurutnya berdasarkan argumen rasional, 10 kategori itu benar-beanr realitas
objektif yang dapat diketahui oleh akal maupun indera, dan tidak satu pun walam
wujud ini yang tidak tercakup di dalamnya. [42]
Karena itu tidak ada objek pengetahuan yang tidak masuk akal ketika dihubungkan
dengan 10 kategori tersebut dan tidak ada kata atau benda, kecuali dengan
menunjuk salah satunya.
Adapun realitas universal, Al-Ghazali membaginya dalam dua bagian, yakni
universal esensial (Dzati) yang mencakup genus (Jins), spesies (Nau)
dan differense (Fashl). Dan kemudian universal aksidental (‘aradh),
baik yang khusus seperti manusia tertawa atau yang umum seperti sifat bergerak
pada materi.[43]
Universal esensial adalah makna abstrak tanpa melihat atribut-atribut luar
yang menyertainya, sedangkan universal aksidental adalah konsep abstrak yang
merupakan generalisasi dari kesamaan-kesamaan dari partikular-partikular itu. Untuk
dapat membedakan keduanya adalah dengan melihat konsep mental sekaligus dalam
realitas aktual, yaitu bahwa esensi dari universalisme adalah benar-benar wujud
alam realitas, sementara dalam realitas aktual, karena tidak mungkin sesuatu
yang satu menjadi atribut bagi berbagai partikular yang lain dalam waktu yang
bersamaan.[44]
Dengan konsep partikular dan universal ini, Al-Ghazali dan juga Al-Farabi
sesungguhnya dianggap sebagai realis baru yang Platonik-Aristotelian, tetapi
tidak Aristotelian dan tidak Platonik. Al-Ghazali tidak disebut sebagai
Aristotelian karena masih menerima adanay alam ghaib sebagai realitas objektif
metafisis, yang dimana tidak dikenal oleh Aristoteles, dan juga tidak disebut
Platonik karena Al-Ghazali masih menganggap adanya subtansi partikular, dimana
sesuatu yang tidak diketahui oleh Plato. Dalam keilmuwan, Al-Ghazali tidak
hanya menggunakan konsep ini dalam bidang metafisis saja, tetapi juga
menjadikannya sebagai landasan bagi hierarki ilmu dan prinsip-prinsip
Yurisprudensi (Ushul fiqh) yang
digagasnya, yang kemudian dikembangkan oleh lebih jauh oleh Al-Syathibi
(1336-1388) dalam karyanya al-Muwafaqat.
c. Epistimologi
Gagasan Al-Ghazali tentang pengetahuan dan segala yang berkaitan
dengan pemikirannya tentang realitas yang bersifat hierarkis. Pengetahuan
menurut Al-Ghazali bersumber pada tiga hal yaitu; intuisi, wahyu dan rasio. Pada dasarnya
ketiga sumber pengetahuan ini adalah satu kesatuan, akan tetapi ada pembeda
dari ketiganya dalam segi kualitas sehingga pada satu sisi membentuk hierarkisnya
masing-masing. Pengetahuan melalui intuisi dinilai lebih jelas dibandingkan
dengan pengetahuan berdasarkan wahyu dan rasio. Perbandingan antara intuisi di
satu sisi dengan wahyu dan rasio di sisi lain adalah sama dengan orang yang
menyaksikan bulan purnama secara langsung dengan orang yang melihatnya melalui
bayangannya di dalam air.
Al-Ghazali membagi ilmu dalam lima hierarkis; Pertama kategori fardhu
‘ain yaitu ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh setiap orang Islam, tidak
boleh tidak demi kebaikan dan keselamatannya dalam dunia akhirat. Ini yang di
dalamnya mengacu pada ilmu-ilmu yang mengarahkan pada jalan keselamatan hidup
sesudah mati (‘ilm thariq al-akhirah.)[45]
meskipun dengan tuntutan yang mesti dipenuhi oleh seseorang terbilang
sedikit berat, hal ini tetap didasarkan pada tingkat kebutuhan (jangka panjang
dan jangka pendek) dan kemampuan diri sendiri.
Ilmu fardhu ‘ain mencakup tiga hal; 1. i’tiqad (hal-hal
yang wajib diimani dan diyakini), 2. ‘amalan (yang harus dikerjakan),
dan 3. Larangan (penghindaran diri). [46]
Setelah pembagian di atas, Al-Ghazali kemudian membagi lagi ilmu fardhu
ain menjadi dua bagian; yaitu ilmu esoterik (‘ilm al-mukasyafah) dan
ilmu ekeksoterik (‘ilm al-mu’amalah).[47]
Ilmu mukasyafah adalah ilmu batin yang berusaha menyingkap atau memahami
makna-makna yang tersembunyi, seperti makna kenabian, wahyu, malaikat dan
seterusnya.[48]
Selain itu, karena sifat esoterik, maka pencariannya tidak diwajibkan bagi
setiap Muslim, tetapi hanya diberlakukan pada minoritas orang yang layak dan
cakap dalam jalan spritual. Dan karena bersifat individual pula, ilmu-ilmu
esoterik tidak masuk dalam daftar klasifikasi keilmuwan yang dibuat Al-Ghazali
sehingga tidak akan ditemukan bentuk heirarkinya.
Ilmu mu’amalah merupakan ilmu yang mengatur praktek-praktek
kebaktian (‘ibadah) yang di dalamnya terdapat doktrin dan praktik yang
sekaligus berjalan. Ilmu yang berkaitan dengan doktrin di sini adalah ilmu yang
berhubungan dengan rukun iman yang menjadi dasar dari iman dan doktrin
fundamental yang diturunkan darinya. Ilmu ini dijalankan dan dicari karena
sebagai penyelamat jiwa yang dapat menuntun seseorang menuju kebahagian di hari
kelak. Sementara itu, ilmu praktek kebaktian yang berhubungan dengan praktek
religius merupakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan rukun islam dan hal-hal yang
diwajibkan kepada manusia atas jiwanya sendiri.
Fardhu kifayah yakni ilmu
yang sama sekali tidak boleh diabaikan oleh seorang muslim dalam upaya
penegakan uruisan duniawi seperti fiqih (yurisprudensi) dan kedokteran.[49]
Ilmu-ilmu tersebut jika tidak dimiliki seseorang akan membuat masyarakat
mengalami kesulitan, sementara jika sudah dimiliki dan dikuasai oleh sebagian
orang, maka kewajiban bagi yang lainnya menjadi gugur. Menurut Al-Ghazali,
pengetahuan yang masuk dalam kategori fardhu kifayah merupakan ilmu yang
justru dicari hanya dalam suatu batas tertentu, yaitu batas kecukupan. Dalam
rumusan Al-Ghazali[50]
karena batasan setiap orang itu berbeda-beda menurut disiplin ilmu yang
dimilikinya, dan kebutuhan masyarakat yang berubah-ubah ikut membuat batasan
itu terjadi. Batasan dalam ilmu fardhu kifayah itu mencakup 3 hal; pertama,
ilmu fardhu kifayah tidak boleh dipelajari melebihi batas yang
dipelajari dalam ilmu fardhu ‘ain. Artinya, orang yang belajar ilmu fardhu
kifayah harus senantiasa menjaga keunggulan dan prioritas ilmu-ilmu yang
masuk dalam kategori fardhu ‘ain. Kedua, orang yang mendalami
ilmu fardhu kifayah harus benar-benar mengalami kemajuan bertahap dalam prose belajarnya atas
ilmu-ilmu yang dikategori di dalamnya. Dan ketiga, orang harus menahan
diri apabila ilmu itu telah dipelajari oleh orang lain dalam jumlah yang cukup.
Dalam memperoleh ilmu menurut Al-Ghazali[51]
terdiri atas tiga tingkatan, yaitu terbatas (iqtishar), cukup (iqtishad),
dan tingkat lanjut (istiqsha’). Ilmu-ilmu yang ada dalam kategori fardhu
kifayah tidak boleh dikejar hingga keluar dari batas dua derajat yang
pertama.
Selan itu, Al-Ghazali juga membagi ilmu-ilmu yang masuk dalam
kategori fardhu kifayah, di antaranya adalah ushl (pokok), furu’
(cabang), muqaddimah (prasarana) dan mutammimat (pelengkap). [52]
ilmu yang masuk dalam kategori ushl
adalah ilmu tafsir, hadis, ijma, dan atsar sahabat. Kemudian yang masuk dalam furu
adalah ilmu-ilmu yang menjadi bagian dari kategori ushl, tetapi tidak bisa
dipahami secara langsung (tekstual), tetapi melalui fungsi akal untuk
mencernanya. Setelah furu, muqaddimat merupakan ilmu bahasa dan
nahwu yang digunakan untuk memahami kitab Allah, Al-Qur’an. Semenatara yang
masuk dalam kategori mutammimat yakni ilmu pengetahuan tentang nasikh
dan mansukh, ‘am dan khas, ilmu taentang para periwayat
hadis dan sejenisnya.[53]
Selain yang sudah disebutkan di atas, Al-Ghazali menyebutkan
beberapa ilmu yang secara eksplisit masuk dalam kategori fardhu kifayah.
Ilmu-ilmu seperti ilmu kedokteran (al-thib), aritmatika (al-hisab),
politik, (al-siyasah), logika (mantiq), ilmu teologi (‘ilm
al-kalam), dan metafisika. Berarapa ilmu keterampilan lainnya juga ikut
masuk dalam fardhu kifayah seperti pertanian (al-fallahah),
tekstil (al-hikayah), dan desain (al-khiyayah).[54]
Ketiga, ilmu-ilmu dalam kategori fadhilah (mengandung
keutamaan) tetapi tidak mencapai tingkat fardhu. Misalnya spesialis
aritmatika, yang jarang sekali diperlukan
tapi sangat bermanfaat dan memperkuat kdar yang diperlukan.[55]
Keempat pengetahun dalam kategori netral, tidak dilarang (mubah).
Misalnya menggubah syair-syair sepanjnag tidak menggunakan kata-kata vulgar
atau tidak senonoh dan lain sebagainya.
Kategori yang kelima adalah pengetahuan tercela (madzmumah).
Menurut Al-Ghazali[56]
ilmu pada dasarnya tidak ada yang tercela, tetapi bisa terjadi tercela apabila
sudah dikaitkan dengan manusia karena ada sebab-sebab berikut; pertama,
ilmu tersebutb menyebabkan kerusakan, baik bagi orang lain maupun diri sendiri.
Kedua, pengetahun dianggap tercela apabila bahaya yang ditimbulkan lebih
besar dibandingkan dengan manfaat yang ditimbulkannya. Misalnya, horoskop. Ketiga, ilmu dianggap tercela apabila pencariannya pengetahuan itu tidak
memberikan peningkatan apa-apa setelah mempelajari dan mempraktekannya sehingga
apa yang kita lakukan tidak terbilang sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA
Griffel, Frank. 2009. Al-Ghazali’s
Philosophical Theology. New York: Oxford University Press.
Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu:
Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Terj. Bandung: Mizan.
Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat
Islam. Terj. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sholeh, Khudori. 2013. Filsafat Islam: Dari
Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
[1] Nama aslinya
hanya Muhammad. Nama Abu Hamid diberikan kemudian setelah ia mempunyai putra
Hamid yang meninggal ketika masih bayi. Ali Issa Othman, Manusia Menurut
Al-Ghazali, Terj. Johan Smit (Bandung;Pustaka, 1987), hlm. 20.
[2] M. Smith, Al-Ghazali
the Mystic, hlm. 11
[3] R. J. McCarthy
, Life of al-Ghazali-nya Al-Farisi, op. Cit, hlm. XV
[4] Syarif (ed), History
of Muslim Philosophy (Waisbaden: Otto Harrasowis, 1963) hlm. 583; Saiful
Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.
52.
[5] Untuk
pembahasan tentang keotentikan karya ini, yang telah disuting oleh Muhammad
Hasan Hitu dan diterbitkan (Damaskus, 1390/1970), lihat M. Bouyges, Essai de
Chronologie des Oeuvres de al-Ghazali, Imprimerie Catholique, Beyrouth
(1959, hlm. 8-9.
[6] Osman Bakar, Hierarki
Ilmu, Terj, Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 181.
[7] Al-Subki, Thabaqat
al-Syafi’iyah al-Kubra, IV (Kairo: Maktabah al-Mishriya, 1906) hlm. 103.
[8] J.J Saunders, A
History of Medieval Islam (London:Routledege, 1980), hlm. 151.
[9] Osman Bakar, Hierarki
Ilmu..., hlm. 180
[10] Dalam Munqidz
intuisi intelektual dilambangkan oleh cahaya yang dipancarkan ke dalam dada
manusia. Lihat al-Munqidz , hlm. 67.
[11] Khudori Soleh
(Terj, dan Pengantar), Skeptisme al-Ghazali (Malang: UPN Press 2010)
[12] Kunci kepada
bagian yang lebih besar dari pengetahuan, kata Al-Ghazali adalah cahaya yang
ditanamkan Tuhan ke dalam dada manusia.
[13] ibid
[14] Saiful Anwar, Filsafat
Ilmu al-Ghazali (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm. 69.
[15] Karya ini
dialihbahasakan ke dalam bahasa latin oleh Dominicus Gundissalinus dengan judul
Logica et Philosophia Algazelis Arabis, dan ke dalam bahasa Ibrani dalam
dua versi, pertama oleh Issac Albalag adab ke-13 dengan judul De’ot
ha-Pilusufim, dan kedua oleh Judah Nathan abad berikutnya dengan judul Kawwanot
ha-Pilusufim. Terdapat pula terjemahan Jerman untuk dua bab pertama karya
itu oleh G. Beer, yang didasarkan pada edisi kritisnya sendiri. Lihat Maqashid,
Leipziq, 1888.
[16] Lihat M.
Bouyges, op. Cit, hlm. 24; G. F. Hourani, op. Cit, hlm. 227.
[17] Tanggal ini
dicatat dalam naskah karya tersebut yang ditemukan di Istanbul
[18] S. H. Nasr Islamic
Life and Thought, hlm. 38.
[19] S. H. Nasr,
op, cit, hlm. 71; lihat juga Munqidz, bag. 61, hlm. 81-82.
[20] S. H. Nasr , Three
Muslim Sages, hlm. 55.
[21] Lihat
Incoherence of the philosophy (Kerancuan para Filosof), terj. S. A. Kamali,
Pakistan, Philosophical Congress, Lahore, 1963, hlm. 5. Juga Muqashid, par. 34,
hlm. 72. Kutipan-kutipan The Incoherence selanjutnya berasal dari terjemahan
Kamali.
[22] Al-Munqidz
, par 81, hlm. 90.
[23] Saya telah
mendengar dari Nasr bahwa Ahmad kemungkinan besar adalah salah satu seorang
guru Al-Ghazali dan Sufisme.
[24] Al-Munqidz,
par 83, hlm. 90.
[25] Ibid, par 84,
hlm. 90.
[26] Lihat A. L
Thibawi, Arabic and Islamic Themes, London , 1970, hlm. 203-208, dimana
dia merujuk pada berbagi sumber tradisional tempat Al-Ghazali dipertemukan
dengan seorang tokoh sufi itu.
[27] Frank Griffel,
Al-Ghazali’s Philosophical Theology, hlm. XI-XII
[28] Al-Munqidz
min al-dhalal, hlm. 11
[29] Tahafut
al-Falasifah, hlm. 376, dan al-Munqidz, hlm. 23-14
[30] Tahafut
al-Falasifah, hlm. 21-22. Pandangan Plato dilaporkan dengan catatan bahwa
beberapa orang telah meragukan bahwa ia benar-benar percaya akan hal itu. Dari
para penafsir Yunani tentang Plato, Aristoteles (Fisika, 251 b 17; De Caelo
280a30), memahami apa yang dimaksud Plato dalam Timaeus 28B bahwa
baik alam semesta maupun waktu diciptakan bersama-sama. Xenocrates di pihak
lain, seperti kaum Platonik dan Neo-Platonik pada umumnya Plato memahami Plato
sebagai menyatakan secara tidak langsung keabadian alam semesta, tetapi
menggunakan bahasa metaforis pembuatan temporal. Lihat Taylor, Plato, hlm.
442-443.
[31] Pandangan
Galen dikatakan telah dikemukakan dalam karyanya Apa yang Galen yakini. Band.
Tahafut. Hlm. 21 dan I. D. Al-Razi, al-Muhashshal, hlm. 86.
[32] Tahafut
ak-Falasifah, hlm. 29-30.
[33] Tahafut
al-Falasifah, hlm. 53
[34] Al-Ghazali , Misykat
al-Anwar, dalam Majmu’ah Rasail (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm.
273.
[35] Ibid, hlm. 274
[36] Ibid, hlm. 271
[37] Al-Ghazali, Mihak
al-Nazhar fi al-Manthiq (Beirut: Dar al-Nahdhah, 1996), hlm. 120.
[38] Al-Ghazali, Mi’yar
al-Ilm, (ed) Sulaiman Dunya (Mesir: Dar al-Marifat, t. th) hlm. 89-90
[39] Saiful Anwar, Filsafat
Ilmu Al-Ghazali.., hlm. 127
[40] Al-Ghazali , Mi’yar
al-‘ilm.., hlm. 343-348
[41] Ibid, hlm. 313
[42] Ibid, hlm. 326
[43] Ibid, hlm.
92-108
[44] Ibid,
hlm. 93
[45] Al-Ghazali, Ihya’
‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 26
[46] Ibid, hlm. 27.
[47] Ibid, hlm. 28.
[48] Ibid
[49] Ibid, hlm. 29.
[50] Ibid, hlm. 29
[51] Ibid
[52] ibid
[53] Ibid, hlm.
29-30.
[54] ibid
[55] ibid
[56] Ibid, hlm. 43