DEMI MIMPI,
NERAKA PUN AKU TEMPATI
Oleh Muhammad
Burniat
Panti Asuhan adalah istana yang layak bagi anak-anak berstatus
yatim piatu, juga−anak-anak yang tidak mampu. Istana yang menyimpan cahaya
impian anak-anak yang tidak beruntung ini merupakan tumpuan akhir bagi
kelangsungan hidup mereka. Masa depan yang suram, sedikit akan lebih bersinar.
Bangunan harapan serta mimpi menghampiri kehidupan mereka. Seringkali
orang-orang sekelilingku menawarkan solusi yang satu ini.
“Jika kamu mau sekolah, kamu masuk panti saja, Bur!”
“Ya,” Jawabku mengangguk. Sedikit menyembunyikan penolakan terhadap
solusi mereka.
Aku heran, mengapa tempat ini kerap kali terpikir oleh mereka.
Sementara mereka saja tak pernah merasakan tempat itu.
“Apakah memang inilah jalan takdirku?” tanyaku dalam hati.
Lama-lama kata itu menancap
dalam pikiranku. Semakin kuat melintas dalam benakku, semakin kuingin
mengetahuinya. Rasa penasaran memuncak. “Aku rasa ada benarnya juga perkataan
orang kampungku” ujarku dalam hati, jika melihat keadaan ekonomi keluargaku
yang tidak bisa dibilang pas-pasan ini. Memang tak bisa dipungkiri, setiap hari
makan nasi tanpa lauk pauk−kuah ala air garamlah yang menggenangi piringku.
Jauh dari kenikmatan hidup. Sepotong ayam yang empuk bahkan tak pernah
menghampiri piringku. Adanya, aku hanya bisa mencium aroma-aroma itu dari
tetangga sebelah rumahku. Bangun dari tidur, aroma ayam gorenglah yang membuat
terperanjat dari tempatnya. Memang tak bisa kurasakan nikmatnya secara nyata,
tapi bau harum semerbak bumbu, yang bersatu dengan ayam, mampu membawa
imajinasiku mencicipinya.
***
Aku seorang bocah ingusan yang baru berumur 7 tahun. Namuku
Muhammad Burniat. Nama yang penuh dengan makna. Nama Burniat diambil dari nama
seorang panglima perang dari dari kota Bengkulu. Neneklah yang menyisipkan nama
itu. Mungkin ada harapan besar yang ia sembunyikan di balik namaku. Kampung nan indah dengan sejuta tumbuhan
kelapa yang menjulang tinggi, menemani hidupku. Hari-hari aku habiskan dengan
bermain bersama anak-anak lainya. Berlari, berenang di sungai dan kadang kala
aku menghabiskan waktu di tengah hutan seorang diri, menunggu runtuhan kelapa
yang jatuh. Rasa beraniku tak sekecil tubuhku. Semua yang berhubungan hutan,
kerap kali menjadi mediaku untuk bermain hingga sang senja menyelam tak kembali
untuk sesaat. Hutan adalah teman baik yang selalu menemaniku. Menemani saat
teman-teman yang lain sedang menuntut ilmu. Ada satu harapan yang aku curahkan
kepada alam.Ya, SEKOLAH. Kata inilah yang selalu aku sampaikan. Sekolah menjadi
penantiannku yang paling ku nanti. Aku merasa sudah bosan menghabiskan
hari-hari bermain, atau bosan mencari uang dengan menjual kelapa-kelapa yang
aku dapatkan setiap harinya. Kulihat anak tetangga, baik itu keluargaku sendiri
maupun orang lain, pulang dengan gembira setelah belajar di sekolah. Rasa iri
terhadap mereka kerap kali muncul.
Ekonomi memang tak bisa dipungkiri sebagai hambatan untuk
bersekolah. Mengharapkan hasil keringat emak pun tidak cukup. Siang dan malam
ia bekerja hanya cukup untuk mencari sesuap nasi dan menghibur
malaikat-malaikat kecilnya. Emak seorang janda tua. Janda tua yang perkasa. Semua
ia lakukan dengan seorang diri setelah ia berpisah dengan ayah karena masalah
keadaan ekonomi yang mencekik. ayahku seorang penyandang tuna netra, tuna wicara,
dan tuna rungu. Hari-harinya dihabiskan dengan duduk−tak mampu melakukan
apa-apa. Sementara emak hanya bekerja serabutan dan harus menghidupi keempat
anaknya termasuk aku sendiri. Hingga suatu saat, keluarga ayahku memutuskan
untuk mengajak ayahku tinggal di kota. Sejak saat itulah, emak tak lagi bersama
ayah.
Aku ingin sekali meminta emak untuk menyekolahkanku tapi semua itu
jauh dari harapan. Tak pernah sekalipun emak berbicara masalah pendidikan
anaknya. Kemana aku akan melangkah. Mencoba memahami keadaan ini karena
mengingat status emak yang buta huruf dan−tak pernah tahu yang namanya sekolah.
Kelurga dari emak memang tak ada yang mencicipi bangku sekolah dan bahkan untuk
kakak-kakaku sendiri. Aku mencoba berlari dari kenyataan pahit ini, mencoba
menabur gula secara perlahan bersama waktu yang akan menjawab. Berharap
manisnya hidup bisa kudapatkan.
***
Suatu ketika, aku memberanikan diri untk meminta emak
menyekolahkanku.
“Emak, dang[1]
mau sekolah seperti Rendo,” pintaku ketus.
“Sekolah bayar pakai apa!?” jawab emak tegas.
Aku diam terpaku. Bocah
kecil tak banyak mengerti apa yang harus dilakukan. Tak ada satu patah kata pun
yang keluar dari mulut kecilku. Perkataan emak begitu meyakinkan. Kepastian
hidupku semakin jelas. Tak ada kata sekolah. Desa yang indah ini, tak
memberikan aku mimpi yang sama dengannya. Ekonomi merampas semua itu. Setiap
kali kulihat Rendo pulang dengan membawa kegembiraan. Cahaya masa depn seolah
memancar kala kumelihatnya. “Memang seharusnya rendo bisa sekolah”, pikirku.
Rendo adalah temanku bermain sejak kecil. Ia adalah anak dari kemanakan ibuku.
Ayahnya memilki ladang yang luas. Tak jarang emak melewatkan penawaran kerja
dari ayahnya. Rumhanya jauh berbeda denganku. Beratap genteng multi roof,
dinding cat penuh warna dan ukurannya sebesar lapang futsal. Di dalamnya
menyimpan jutaan nikmat. Ketika ia pulang sekolah, aku segera menuju rumahnya.
Hany sekedar untuk menikmati hiburan yang tak kudapatkan dari rumahku sendiri.
Di rumah Rendo, aku bisa nonton televisi, bermain playstation (PS) atau
sekerdar menikmati sejuknya rumah besarnya itu. Aku memanggil Rendo, pak Uncu[2].
Saat itu umurku terpaut 3 tahun lebih muda darinya. Jadi kasih sayang
seorang kakak, bisa aku rasakan. Setiap kepulannya dari sekolah. Ada satu hal
sering aku tanyakan.
“Pak Uncu, aku boleh main PS gak? Pintaku memanja.
“Boleh, tapi jangan ribut, ya” pintanya dengan senyum seorang kakak
yang tulus.
Begitulah hari-hariku aku habiskan. Bermain, mandi di sungai atau
mencari kelapa untukku jual buat menambah jajanku sendiri.
Singkat cerita, suatu ketika bapak Rendo pulang dari kota. Ia
mengabarkan kepada emak. Jika aku ingin sekolah. Ia ada tempat yang bagus
untukku bersekolah.
“Wah[3],
kalau Burniatmau sekolah, masukkan ke Panti Asuhan saja,” sarannya dengan
semangat.
“Apa itu Panti Asuhan?” emak balik bertanya.
“Panti Asuhan itu tempat anak-anak yang berstatus yatim piatu. Disana,
anak-anak akan disekolahkan hingga tamat,” jawab pak Rendo
“Tapi anak wah bukan yatim piatu. Terus bagaimana bisa diterima?
Tanya emak lagi.
“Bisa diterima, asalkan berasal dari keluarga yang tidak mampu”
jawab pak Rendo.
“Baiklah kalau begitu, wah akan membujuk dang untuk masuk Panti
Asuhan” tegas emak.
***
Dua minggu setelah itu, emak pun membicarakannya padaku.
“Dang, kamu mau masuk Panti Asuhan? Tanya emank lirih.
“Apa itu Panti Asuhan? Tanyaku
Diam sejenak, kemudian emak menjawab dengan pelan. Suaranya yang
tegas kini berubah sedikit mendayu.
“Panti Asuhan itu tempat paling enak buat dang. Dang bisa makan
ayam terus, bisa sekolah dan banyak teman. Emak saja kalau masih muda seperti
kamu, pasti mau masuk Panti Asuhan” jawab emak dengan senyum palsu. Kemudian
beberapa menit kemudian, emak melanjutkan pembicaraannya.
“Bukannya dang bilang mau sekolah?
“Ya mak. Dang sangat ingin bersekolah” jawabku. Sejenak pembicaraan
kami pecah oleh suasan hening yang merobek kegelapan malam. Lampu teplok yang
kumuh, menerangi malam dengan celah-celah cahaya yang redup. Aku melihat jelas,
bagaimana senyum emak sebenarnya. Mungkin ada rasa sedih karena aku. Tapi yang
jelas, dari tawaran emak itu, aku pun meng-iyakan perkataan emak walaupun aku
tidak tahu seperti apa itu Panti Asuhan. Setiap orang yang memberikan solusi
yang sama terhadap impianku jika ingin sekolah. Ya, Panti Asuhan mungkin
jawaban yang tepat.
***
27 mei 2001 adalah kali kedua aku menginjakkan kota Bengkulu.
Kedatangan kali ini bukan untuk menghibur diri semata atau hanya ingin berjumpa
dengan sang ayah. Tapi menjemput harapannku. Sekolah. Ya, sekolah yang telah
lama kunanti. Semua kebutuhan pakaian yang aku butuhkan telah emak siapkan
jauh-jauh hari sehingga pada hari itu, kami dengan santainya menuju kota
Bengkulu. Hanya butuh 6 jam dari kampungku menuju kota Bengkulu. Tak terasa
kami telah sampai diterminal pmberhentian.
“Dang, kalau nanti sudah sampai di rumah bapak, kamu harus bicara
ya. katakan kalau kamu mau sekolah. Bilang saja masuk Panti Asuhan” pesan emak
padaku.
“Ya, emak. Burniat akan lakukan itu” senyumku pada emak.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju rumah ayahku. Di perjalanan,
tak henti-henti ku memandangi sudut kota bengkulu. Mataku seolah tak ingin
mengalah. Emak pun sampai-sampai tak aku perdulikan. Mobil yang kamu tumpangi
tiba-tiba berhenti. Suara emak yang garang keluar.
“Kiri bang! Pinta emak.
“Kiri bang! Pinta emak.
Sang sopir kemudian berhenti dengan mendadak. Kakinya terkejut dan
langsung menginjak rem mobil. Suara emak yang mungkin membuat itu terjadi. Ku
periksa semua barang bawaan kami agar tak ada yang ketinggalan satu pun.
Langkahku dan emak semakin jelas. Kaki yang kami ayuhkan membawa kami ke subuah
rumah putih dengn luas 70×60. Rumah yang sangat besar bagi kami. Kami melihat lelaki
tua duduk di teras rumah itu, menyambut kedatangan kami. Tapi ada yang aneh. Ia
tidak sama sekali bangkit dari duduknya atau sekedar senyum kepadaku. Emak yang
saat itu bersamaku, tak menghiraukan laki-laki itu. Karena penasaran, aku pun
menyakannya kepada emak.
“Emak, lelaki itu siapa?
“Itu adalah ayahmu, bur” jawaba emak.
Aku terkejut saat itu, ternyata lelaki yang menyambut kedatangan
kami tanpa ada reaksi apapun adalah ayahku. Kemudian aku bertanya lagi.
“Kenapa ia tak mengenaliku, emak?
“Ayahmu itu buta, tuli dan bisu, dang. Jadi tidak bisa apa-apa”
jawab emak dengan nada yang lirih.
Aku yang kala itu mendengar jawaban emak, langsung menuju ayahku.ku
raih tangannya. Lalu kucium. Tangannya yang rapu, meraba setiap sisi tubuhku.
Mengenaliku dengan teliti. Senyumnya tak henti-henti terpancar ketika aku
didekatnya. Tak banyak yang aku tahu tentang ayah. Tapi yang jelas, perjumpaan
hari ini telah mengakat semangatku untuk sekolah.
“Burniat...!” panggil emak
“Ya..., emak. “jawabku
Aku pun langsung masuk ke dalam setelah habis menghibur ayahku. Dan
bahkan ketika aku akan meninggalkannya, ia tertawa seorang diri. Mungkin karena
kedatanganku. Aku segera menuju asal suara emak. Ku dapati emak sedang
berbicang-bincang dengan bibiku. Namanya Rasmaniar. Ia adalah kakak tertua
ayahku. Aku sering kali memanggilnya wak Nop[4].
Ia adalah istri dari seorang polisi, namun belum beberapa lama, kudengar
suaminya baru meninggal. Aku kemudian duduk di samping emak. Lalu suara tua dari
wak Nop keluar.
“Kata ibumu, kamu mau sekolah ya, Bur?,”Tanya wak Nop
“Ya, wak. Aku memang mau sekolah. Tolong wak kabulkan permintaanku
yang satu ini” pintaku dengan lirih.
“Tapi wak Nop tidak bisa menyekolahkanmu, wak banyak
tanggungan hidup. Lihat saja ayahmu,” seolah ia menolak permintaanku itu.
“Ya apa saja saja caranya, wak. Masuk Panti Asuhan juga tidak
apa-apa” jawabku
“Benaran, kamu mau masuk Panti Asuhan” ia bertanya lagi.
“Iya “ jawabku mengangguk.
***
Satu bulan setelah pertemuan itu, tepatnya pada 29 Juni 2001, aku
masuk Panti Asuhan. Semulanya aku menyangka kalau di Panti Asuhan akan makan
ayam selalu tapi ternyata emak berbohong. Hari pertamaku di Panti, disambut
dengan 3 iris terong sambal. Terong yang acapa kali menemani makanku waktu di
kampung. Belum lagi peraturannya yang ketat. Membuatku berada dalam sangkar.
Tak mampu kemana-mana. Ada penyesalan dalam hati, namun tujuan sekolah tetap
tertanam dalam hatiku. Satu tahun, 2 tahun, hingga tahun 3, aku masih bertahan.
Hingga suatu ketika hendak naik kelas 4 Sekolah Dasar, aku dihadapkan dengan
sebuah masalah besar. Aku diangkat menjadi anak oleh pengasuh panti karena
prestasiku yang gemilang. Setiap semester tak jarang aku berdiri sebagai 3
besar murid berprestasi dalam kelasku. Karena melihat perkembang ini, aku pun
di minta tinggal di rumah pengasuh yang tak jauh dari asramaku. Tapi nasib
berkata lain. Aku menganggap ini akan menjadi lebih baik, malah berbalik
keadaannya. Setiap hari aku harus bekerja di rumah itu. Menyapu, mengepel, mencuci,
memandikan anak-anaknya hingga menyetrikan pakaian. Kadang kala aku menangis
melihat prilaku pengasuhku. Aku yang baru berumur 10 tahun saat itu, belum
begitu sanggup melakukannya, namun harus tetap kupaksakan.
Pada suatu ketika, aku
pernah terlambat bekerja karena harus mengambil pakaianku di asrmaku.
Nahas, ketika sampai rumah pengasuh, malah aku mendapat tamparan dari suaminya.
Sakit sekali pipiku saat itu. Cicin besar yang dipakainya membuat pipiku memar.
Saat itulah aku memutuskan untuk lari dari Panti Asuhan.
***
5 Maret 2004 adalah aksi melarikan diri yang aku lakukan. Saat
anak-anak Panti Asuhan yang lain sedang melaksanakan shalat subhu berjamaah,
aku memulai aksiku. Pagar yang menjulang tinggi, aku lompati. Demi kabur dari
Panti Asuhan, berbagai macam cara aku lakukan. Panti asuhan yang luasnya kurang
lebih dari satu hektar, dengan cepatnya aku telusuri. Ya, sebelum melompati
pagar yang tingginya 2,5 meter, aku memanjati pohon kelapa yang dekat dengan
pagar tersebut. Sehingga dengan mudah aku menerobosnya. Setetlah keluar dari
area Panti Asuhana, aku pun bergegas lari secapat mungkin agar tidak terlihat
oleh petugas Panti Asuhan. Ada hal hebat yang kulakuan saat itu yakni aku
berjalan seorang diri menuju rumah bibiku yang jaraknya 12 kilometer dari
Panti. Tapi, itu sama sekali tak berarti apa-apa bagiku, kecuali ingin cepat
sampai rumah.
***
Tak terasa selama beberapa jam lamanya, aku pun sampai di sebuah
gubuk. Ku sandarkan diri sembari beristirahat setelah perjalanan yang cukup
panjang. Sejenak aku berpikir, “bagaimana caranya aku pulang sementara rumahku
sangat jauh.” Saat ini aku sedang berada di kota, bagaimana aku bisa menuju
desa”?. Pertanyaan ini terus membayangiku. Bingung harus berbuat apa. Hingga
akhirnya aku pun memutuskan untuk memberanikan diri menghadap wak Nop.
Setelah perdebatan itu, aku segera menuju rumahnya, berharap ia akan
mengantarkan aku untuk pulang ke kampung.
Kemudia sampailah aku di
tempat pertama aku pijakkan. Ya, rumah bibiku. Kedua kalinya juga aku melihat
ayahku lagi. Sama seperti pertama aku datang ke Bengkulu. Ia sedang duduk,
menikmati sepoi-sepoi angin berhembus. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, terbesit
rasa takut dalam diri, karena mengingat aku mengecewakan bibiku itu. Tapi, rasa
itu hanya selintas menghantui. Hingga akhirnya aku temui ia, yang sedang
berbincang dengan anak-anaknya.
“Wak, Burniat mau pulang ke kampung” pintaku yang saat itu langsung
menerobos pembicaraan mereka.
“Lho,, kenapa kamu pulang Burniat!” sahut anaknya.
“Lho,, kenapa kamu pulang Burniat!” sahut anaknya.
“Aku tidak tahan lagi tinggal di Panti Asuhan” jawabaku dengan
tersedu-sedu
“Sudah, pulangkan saja lagi burniat ke Panti, ma!” sahut anak yang
lain.
“Ya, sudah Burniat. Kamu harus pulang malam ini ke Panti, ya!”
tegas Bibiku itu.
Aku terus coba menangis, berharap mereka akan kasihan terhadapku.
Mengurung niatnya untuk mengembalikan aku ke neraka itu. Air mata telah
bercucuran membasahi pipiku, ingus sudah menjalar kemana-kemana tapi tetap saja
tak ada respon yang mereka berikan.
“Aku rindu emak. Aku ingin pulang! ”dengan marah, aku berteriak
keras.
Dari sudut kamar, terdengar suara deret pintu menganga, sosok
wanita muda keluar secra perlahan menuju tempat perbincangan kami. Ia adalah
anak tertua dari bibiku. Ia mendekatiku dan kemudian menasihatiku. Namanya
Nopianti. Nama inilah yang diambil dari panggilan bibiku itu. Wanita itu,
mendekati sambil memberikan aku segelas minuman.
“Bur, kenapa kamu ingin pulang? Tanyanya
“Aku sudah tidak tahan lagi, mbak” jawabku.
“Memang apa yang membuatmu tak tahan?
“Aku tidak disamakan dengan anak panti lainnya. Aku tinggal di
rumah pengasuh panti. Setiap hari aku harus bekerja melayani mereka. Sementara
tujuanku kesana adalah bersekolah. Bukan menjadi pembantu!” jawabku dengan
tersedu-sedu dan diikuti emosi.
Ku lihat wajah mereka dengan seksama mendengarkan pintaku itu.
Berharap ada kejelasan baru yang akan mereka berikan.
“Sudah, Bur. Kau tahu kalau ibu dan ayahmu sangat mengharapkan kamu
menjadi anak yang masa depannya cerah. Coba lihat ayahmu. Ia buta, bisu, tuli
dan tak mampu memberikan apa-apa untukmu smentara ibumu hanya seorang janda
yang tak bisa menyekolahkanmu. Kau tahankan saja dulu di Panti Asuhan. Tidak
lama kok, Cuma 12 tahun, setetlah itu kau bebas mau kemana” jawab Nopianti dengan
lembut.
Mendengar perkataan itu, aku kemudia sadar apa yang harus aku
lakukan. Ya, aku harus kembali. Meniti masa depan untuk emak dan ayah. Tak
perduli berapa keras yang akan aku hadapi. Demi mereka aku akan melakukan
apapun. Perjuangan yang telah mereka lakukan bahkan tak mampu kubalas dengan
penderitaanku. Mereka lebih menderita ketimbang diriku saat ini. Hingga
kejadian itu, malamnya aku pun segera dikembalikan ke Panti Asuha.
Memang tak ada yang berubah semenjak kejadian itu, tapi semangat
serta cintaku pada orangtua mengalahkan semuanya. Kejadian demi kejadian aku
alami, namun tak pernah bisa kuceritkan pada orangtuaku. Sikap pengasuh Panti
yang keras dan semena-mena tetap aku jalani. Aku tahan sendiri dan berharap
suatu saat nanti ini akan berhenti.
***
12 tahun berlalu, aku pun dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah
Atas (SMA). Nafas lega menghampiri hidupku. Penderitaan yang lalu, kini telah
pergi. Aku dulunya merasa sedang tinggal di sebuah neraka. Entah, apa yang
membuatku berpikir seperti itu. Panti yang biasa dikenal dengan banyak berkah
dan surganya anak-anak yatim-piatu, namun di mataku layaknya sebuah neraka.
Memang tak sama apa yang aku pikirkan dengan apa yang dipikirkan oleh
teman-temanku yang lain. Mereka dengan santai bisa belajar, istirahat, dan
bermain sementara aku terkurung dalam sangkar pengasuh pantiku. Aku tak pernah
menceritakan semua itu kepada siapapun, itu aku anggap sebagi pecutan masa
depan yang akan menempa diriku.
Singkat cerita, setelah pertemuanku dengan orangtuaku karena aku
telah berhasil lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), aku pun mengikuti
seleksi beasiswa dari salah satu Sekolah Tinggi Islam Swasta di Bengkulu.
Sekolah ini merekrut anak-anak yang memilki kemampuan akademik yang bagus, yang
nantinya akan dibawa ke Jakarta. Aku pun mengikutinya dengan sigap. Orangtuaku
mendukung sepenuhnya untukku. Aku tahu, hanya dengan cara inilah aku bisa
kembali meneruskan pendidikanku. Tamat SMA belum mampu merubah hidup
keluargaku. Segala hal kupersiapkan dengan matang hingga suatu hari, pengumuman
itu sampai padaku.
“selamat, anda dinyatakan lulus dari seleksi beasiswanyang kami
adakan. Tolong persiapakan perlengkapan untuk terbang ke jakarta”_ pengawas
Beasiswa.
Surat inilah yang aku terima. Ternyata tuhan memberikan sebuah
anugerah terindah untukku dan keluargaku. Penderitaan tak selamanya menghampiri
kita. benarlah apa yang telah dikatakan sang pencipta “Dibalik suatu musibah,
ada hikmah terindah yang tidak mampu ditembus manusia”. Terima Kasih ^_^