Menelusuri Keilmuwan Imam Al-Ghazali

on Monday, April 6, 2015
PEMBAHASAN
A.    Perjalanan Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan pada 450 H/1058 M. Ayahnya seorang penenun wool (ghazzal) yang kemudian turut memberikan julukan Al-Ghazali.[1] Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (w. 1126) dititipkan kepada seorang sufi. Dari sini juga Al-Ghazali belajar Al-quran dan Hadis, mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah dan menghapal puisi cinta mistis.[2] Namun tidak berlangsung lama karena masalah ekonomi, ia pun dikirim kembali ke sebuah madrasah tempat dia pertama kali belajar fiqih dari Ahmad Al-Radzkani semasa ayahnya masih hidup dulu.[3]
Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Thus kemudian dilanjutkan di Jurjan. Ia belajar dalam bidang hukum (Fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili (1015-1085 M) sebelum berusia 15 tahun.[4] Pada usia 17 tahun ia kembali ke Thus, sebelum usia 20 tahun dan tiga tahun menuju itu, Al-Ghazali pertama kali menyusun karyanya yang diberi judul al-Mankhul min ‘ilm al-ushul (Ikhtisar Ilmu Tentang Prinsip-prinsip), membahas metodologi dan teori hukum.[5]
 Lalu ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk kembali mendalami ilmu fiqih juga ilmu teolog dari seorang Al-Juwaini (1028-1085 M). Dimana Al-Juwaini merupakan tokoh yang berperan penting dalam mengangkat dunia keilmuwan teolog Asy’ariah. Karena kehebatan Al-Ghazali dalam mendalami ilmu dari seorang gurunya itu, ia kemudian menjadi asisten sampai sang guru wafat (478/1085 M).[6] Menurut Tajuddin Al-Subki (w. 1379)[7] mengatakan bahwa Al-Juwanini adalah orang yang pertama kali pula memperkenalkan kepada Al-Ghazali mengenai filsafat, termasuk logika dan filsafat alam dalam ranah disiplin teolog. Selain mendalami ilmu fiqih dan teologi, selama di Nisabur Al-Ghazali juga belajar sekaligus mempraktekan ilmu tasawuf di bawah bimbingan Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084), seorang tokoh sufi dari Thus, merupakan murid dari Al-Qusyairi (986-1072 M).
Pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-Mulk  (1063-1092 M), wazir dari Sultan Malik Syah 1 (1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad.[8] Undangan dan permintaan itu diberikan kepada Al-Ghazali menurut Osman Bakar karena memang kekuasaan saat itu berada di bawah kekuasaan Bani Saljuk (1037-1194 M) yang bermazhab Syafi’i dan menganut teologi Asy’ari (874-936 M). Hal ini juga dipengaruhi oleh kepentingan para politisi kala itu untuk tetap memberikan pertahankan kuat terhadap kelompoknya sekaligus kedudukan yang sedang berkuasa. [9]
Selama di Baghdad inilah Al-Ghazali berhasil menyelesaikan kajian terkait tentang filsafat, teolog, ta’limiyah dan juga tasawuf yang menjadi ciri khasnya sampai sekarang. Di Baghdad pula, sang pemikir Islam ini secara produktif menulis banyak karya sebagai sumbangsihnya kepada dunia islam. Namun dalam perjalanan itu, Al-Ghazali mendapati masalah dari keempat ilmu yang dipelajarinya. Dalam hal ini ia dikatakan mengalami krisis epistimologis hingga membuatnya harus mengundurkan diri dari jabatan yang sedang didudukinya. Secara khusus krisis itu merupakan krisis dalam menentukan  hubungan yang tepat antara akal dan intuisi intelektual. [10]Sebagai pelajar muda, Al-Ghazali dibingungkan oleh pertentangan antara kehendak akal di satu pihak sehingga membuat dia ragu akan kebenaran yang ditangkap oleh indera dan data rasional.
Dari sinilah, prilaku dan sikap pengasing Al-Ghazali pun dimulai selama 10 tahun, ke Damskus, Yerusalem, Makkah, ke Damaskus lagi dan akhirnya kembali ke tempat awal, yakni Baghdad.[11]Al-Ghazali menyatakan bahwa di terbebas dari masa krisi itu karena dari cahaya (nur) yang disusupkan Tuhan ke dalam dadanya, bukan melalui argumen-argumen rasional atau bukti rasional. Dari sini lahir sebuah teori bahwa intuisi intelektual bersifat superior terhadap akal. [12]
Setelah lama dalam pengasingan spritual, Al-Ghazali meyakini bahwa kaum sufilah yang dapat menempuh jalan menuju Tuhan secara benar dan langsung sehingga ketika itu pula membuat sang filosof ini mulai memikirkan dekedensi moral dan religius para kaum muslimin saat itu. Dari hasil pergulatannya itu, Fakhr Al-Mulk, penguasa Khurasan (1095-1113 M) meminta Al-Ghazali untuk mengajar di Nisabur (1105 M). Akan tetapi keberadaanya tersebut tida berlangsung lama, hanya sekitar 5 tahun dan kemudian ia pun kembali lagi ke daerah asalnya, Thus. [13]
Setelah kembali ke Thus, dari sini Al-Ghazali mendirikan sebuah madrasah dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para sufi. Ia pun menghabiskan sisa hidupnya sebagai pemgajar dan guru sufi. Pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M ia meninggal dunia dalam usia 53 tahun.

Recent Comments

followers

About Me