Menelusuri Keilmuwan Imam Al-Ghazali

on Monday, April 6, 2015
PEMBAHASAN
A.    Perjalanan Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali lahir di Thus, Khurasan pada 450 H/1058 M. Ayahnya seorang penenun wool (ghazzal) yang kemudian turut memberikan julukan Al-Ghazali.[1] Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (w. 1126) dititipkan kepada seorang sufi. Dari sini juga Al-Ghazali belajar Al-quran dan Hadis, mendengarkan kisah tentang para ahli hikmah dan menghapal puisi cinta mistis.[2] Namun tidak berlangsung lama karena masalah ekonomi, ia pun dikirim kembali ke sebuah madrasah tempat dia pertama kali belajar fiqih dari Ahmad Al-Radzkani semasa ayahnya masih hidup dulu.[3]
Pendidikan Al-Ghazali dimulai dari Thus kemudian dilanjutkan di Jurjan. Ia belajar dalam bidang hukum (Fiqh) di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Ismaili (1015-1085 M) sebelum berusia 15 tahun.[4] Pada usia 17 tahun ia kembali ke Thus, sebelum usia 20 tahun dan tiga tahun menuju itu, Al-Ghazali pertama kali menyusun karyanya yang diberi judul al-Mankhul min ‘ilm al-ushul (Ikhtisar Ilmu Tentang Prinsip-prinsip), membahas metodologi dan teori hukum.[5]
 Lalu ketika usianya 20 tahun, ia pergi ke Nisabur untuk kembali mendalami ilmu fiqih juga ilmu teolog dari seorang Al-Juwaini (1028-1085 M). Dimana Al-Juwaini merupakan tokoh yang berperan penting dalam mengangkat dunia keilmuwan teolog Asy’ariah. Karena kehebatan Al-Ghazali dalam mendalami ilmu dari seorang gurunya itu, ia kemudian menjadi asisten sampai sang guru wafat (478/1085 M).[6] Menurut Tajuddin Al-Subki (w. 1379)[7] mengatakan bahwa Al-Juwanini adalah orang yang pertama kali pula memperkenalkan kepada Al-Ghazali mengenai filsafat, termasuk logika dan filsafat alam dalam ranah disiplin teolog. Selain mendalami ilmu fiqih dan teologi, selama di Nisabur Al-Ghazali juga belajar sekaligus mempraktekan ilmu tasawuf di bawah bimbingan Abu Ali Al-Farmadzi (w. 1084), seorang tokoh sufi dari Thus, merupakan murid dari Al-Qusyairi (986-1072 M).
Pada tahun 1091 M, Al-Ghazali diundang oleh Nidham Al-Mulk  (1063-1092 M), wazir dari Sultan Malik Syah 1 (1072-1092 M) untuk menjadi guru besar di Nidhamiyah, Baghdad.[8] Undangan dan permintaan itu diberikan kepada Al-Ghazali menurut Osman Bakar karena memang kekuasaan saat itu berada di bawah kekuasaan Bani Saljuk (1037-1194 M) yang bermazhab Syafi’i dan menganut teologi Asy’ari (874-936 M). Hal ini juga dipengaruhi oleh kepentingan para politisi kala itu untuk tetap memberikan pertahankan kuat terhadap kelompoknya sekaligus kedudukan yang sedang berkuasa. [9]
Selama di Baghdad inilah Al-Ghazali berhasil menyelesaikan kajian terkait tentang filsafat, teolog, ta’limiyah dan juga tasawuf yang menjadi ciri khasnya sampai sekarang. Di Baghdad pula, sang pemikir Islam ini secara produktif menulis banyak karya sebagai sumbangsihnya kepada dunia islam. Namun dalam perjalanan itu, Al-Ghazali mendapati masalah dari keempat ilmu yang dipelajarinya. Dalam hal ini ia dikatakan mengalami krisis epistimologis hingga membuatnya harus mengundurkan diri dari jabatan yang sedang didudukinya. Secara khusus krisis itu merupakan krisis dalam menentukan  hubungan yang tepat antara akal dan intuisi intelektual. [10]Sebagai pelajar muda, Al-Ghazali dibingungkan oleh pertentangan antara kehendak akal di satu pihak sehingga membuat dia ragu akan kebenaran yang ditangkap oleh indera dan data rasional.
Dari sinilah, prilaku dan sikap pengasing Al-Ghazali pun dimulai selama 10 tahun, ke Damskus, Yerusalem, Makkah, ke Damaskus lagi dan akhirnya kembali ke tempat awal, yakni Baghdad.[11]Al-Ghazali menyatakan bahwa di terbebas dari masa krisi itu karena dari cahaya (nur) yang disusupkan Tuhan ke dalam dadanya, bukan melalui argumen-argumen rasional atau bukti rasional. Dari sini lahir sebuah teori bahwa intuisi intelektual bersifat superior terhadap akal. [12]
Setelah lama dalam pengasingan spritual, Al-Ghazali meyakini bahwa kaum sufilah yang dapat menempuh jalan menuju Tuhan secara benar dan langsung sehingga ketika itu pula membuat sang filosof ini mulai memikirkan dekedensi moral dan religius para kaum muslimin saat itu. Dari hasil pergulatannya itu, Fakhr Al-Mulk, penguasa Khurasan (1095-1113 M) meminta Al-Ghazali untuk mengajar di Nisabur (1105 M). Akan tetapi keberadaanya tersebut tida berlangsung lama, hanya sekitar 5 tahun dan kemudian ia pun kembali lagi ke daerah asalnya, Thus. [13]
Setelah kembali ke Thus, dari sini Al-Ghazali mendirikan sebuah madrasah dan sebuah khanaqah (biara sufi) bagi para sufi. Ia pun menghabiskan sisa hidupnya sebagai pemgajar dan guru sufi. Pada hari Ahad, 18 Desember 1111 M ia meninggal dunia dalam usia 53 tahun.


B.     Karya Intelektual Al-Ghazali
Selama hidupnya Al-Ghazali begitu semangat dalam menelurkan karya-karya besar dari hasil pemikirannya itu. Terbukti dari hasil produktivitas menulis, beberapa buku-buku dan tulisan memberikan referensi berskala panjang bagi peradaban dan kemajuan dunia Islam. Menurut penelitian Saiful Anwar, setidaknya ada 72 karya tulis yang telah diwariskan oleh Al-Ghazali, yang kemudian dibagi dalam beberapa tema. [14] Salah satu karya yang sangat fenomenal dalam kalangan muslim dan barat pun demikian adalah karyanya yang berjudul Ihya’ Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Religius), sebuah kitab yang ditulis sebagai dasar untuk memulihkan keseimbangan dan keselarasan antara dimensi eksoterik dan esoterik Islam.
Selain itu, karya lainya juga tidak kalah famor. Di dalam bidang logika dan filsafat, Mi’yar al-‘Ilm (Standar Pengetahuan), Tahafut al-Falasifah (Keracancuan Para Filsuf), dan Mihak al-Nadzar fi al-Manthiq (Batu Uji Pemikiran Logis). Dalam bidang teolog ada Qawa’id al-‘Aqa’id (Prinsip-Prinsip Keimanan) dan al-Iqtishad fi al-I’tiqad (Muara Kepercayaan). Dalam bidang ushul fiqih; al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul (Intisari Ilmu tentang Pokok-pokok Yurisprudensi) dan Al-Mankhul min ‘Ilm al-Ushul (Ikhtisar Ilmu tentang Prinsip-prinsip). Dan dalam bidang tasawuf ada Al-Kimia al-Sa’adah (Kimia Kebahagian), Misykat al-Anwar (Ceruk Cahaya-Cahaya) dan dalam kebatinan; Qisthas al-Mustaqim (Neraca yang Lurus) dan Al-Mustadzhir.
Al-Ghazali menyelesaikan karya pertamanya dalam filsafat, Maqasid al-Falasifah (Maksud para Filosof)[15]antara tahun 486/ 1093 M[16]. Di dalam filsafat ini berisi rangkumam filsafat Peripatetik yang didasarkan atas karya Ibn Sina (Danisynama-yi ‘ala’i (Kitab Ilmu yang Dipersembahkan kepada Daulah). Ini ditulis sebagai mukadimah bagi Tahafut al-Falasifah yang diselesaikan apda 11 Muharram 488/21 Januari 1095.[17] Tahafut adalah polemik negatif terhadap filsafat Al-Farabi dan Ibn Sina. Dalam kitab ini menjelaskan pandangan Al-Ghazali sendiri tentang persoalan yang dipermasalahkan. Menurut Nasr, Tahafut melumpuhkan filsafat rasionalistik dan menghabisi karier filsafat sebagai disiplin yang berbeda dari gnosis dan teolog di seluruh wiayah Arab dunia Islam.[18] Dalam Jawahir Al-Qur’an (The Jewels of the Qur’an), dia menceritakan kepada kita bahwa Tahafut adalah sebuah karya dalam ilmu kalam karena menolak kesesatan dan bid’ah, menghilangkan keraguan dan menjaga kepercayaan agama orang awam dari keragu-raguan yang diciptakan oleh ahli bid’ah.
Lama sebelum Al-Ghazali menulis Tahafut, dia menganut doktrin Sufi bahwa ‘Cahaya Intuisi’ lebih unggul dibandingkan akal. Kini, setelah studi filsafatnya yang mendalam, dia menuduh para filosof mengklaim kemampuan memahami segala sesuatu melalui akal semata,[19]bertentang bukan hanya dengan klaim teologis yang menududkan akal untuk tunduk kepada iman, tetapi juga dengan klaim Sufi bahwa cahaya intuisi adalah kunci keyakinan.
Oleh karena itu, Al-Ghazali adalah seorang filosof karena dia tahu filsafat dan kritik-kritiknya bersifat filosofis. Tetapi, sebagai seorang filosof dia membatasi ruang gerak rasionalisme Muslim dan meratakan jalan bagi penyebaran doktrin Iluminasionis Suhrawardi (w. 587/1191) dan gnosis mazhab Ibn ‘Arabi (w. 638/1240).[20]Respon yang paling terkenal terhadap serangan Al-Ghazali atas Aristotelianisme Muslim adalah dalam karya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dari Karancuan).
Karakter Tahafut sebagai karya kalam sekaligus filsafat dapat dilihat dari dua karya yang mengiring sebelumnya, yakni Mi’yar al-‘Ilm (Standar Pengetahuan), sebuah karya terntang logika Aristotelian yang menjelaskan metode-metode penalaran dan istilah-istilah teknis para filosof yang digunakan dalam Tahafut. Dan yang kedua, yakni Qawa’id al-‘Aqa’id (Prinsip-Prinsip Keimanan) pandangan-pandangan positifnya yang meluruskan kesalahan-kesalahan para filosof , dimana menyinggung tentang maksud dan tujuannya itu terhdap menulis Tahafut al-Tahafut. Dalam filsafat, Al-Ghazali menyatakan bahwa tulisan terbaik para filosof Muslim adalah karya Al-Farabi dan Ibn Sina.[21]

C.     Krisis spritual dan pengasingan yang dilakukan Al-Ghazali
Dalam otobiografinya, Al-Ghazali mengaku bahwa dalam bulan Rajab 488/ Juli 1095, sekita 6 bulan setelah karya Tahafut-nya selesai, dia mengalami krisis pibadi kedua karena studi Sufismenya. Dia menyatakan bahwa telah menguasai doktrin dan ajaran Sufisme baik melalui tulisan para Sufi kala itu seperti Al-Muhasibi 9w. 243/873), Al-Junaid (w. 298/854), Al-Syibli (334/945), dan Al-Basthami (w. 262/875) maupun juga pengajaran lisan. [22]Dia tidak mengidentifikasi sumber-sumber lisan ini, tetapi slaah satunya mungkin adalah saudaranya sendiri, Ahmad.[23]
Al-Ghzali menyimpulkan bahwa Sufi adalah para penguasa keadaan-keadaan dan bukan pemasok kata-kata.[24] Dia menyadari ada perbedaan besar antara pengetahuan teoritis dengan pengetahuan yang disadari. Bagi satu-satunya harapan mencapai kepastian dan kenikmatan dalam kehidupan nanti hanya terletak di jalan kaum Sufi.[25]
Krisis kedua yang dialami Al-Ghazali ini jauh lebih serius daripada krisis pertamanya karena melibatkan suatu keputusan untuk melepaskan satu jenis kehidupan demi kehidupan lain yangs secara esensial bertentang dengan yang terdahulu. Krisis ini pula yang mempengaruhi emosional dan fisiknya sehingga menyebabkan gangguan dalam bicara yang notabene menggangu pula proses aktivitas mengajarnya. Berbeda dengan krisi pertama terkait soal metodologis mutakallimun, filosof, Ta’limiyah dan Sufi, dimana mengalami krisis epistimologis dalam skema total pengetahun yang menetapkan hubungan yang tepat antara akal dan intuisi intelektual.
Pada Dzulkaidah 488/November 1095 Al-Ghazali meninggalkan Baghdad dengan dalih ingin melakukan haji ke Mekkah. Padahal sebenarnya ia ingin melepaskan diri dari karir mengajar dan mencurahkan sepenuhnya pada jalan sufi. Selama sebelas tahun, Al-Ghazali menempuh kehidupan asketik (Zuhud) dan kontemplatif (Tafakur). Setelah menjalani aktivitas itu dan menemukan jalannya, pada Dzulkaidah 499/ Juli 1106, dia kembali mengajar, hanya saja di Naisyapur.
Pengasing Al-Ghazali dari khalayak umum mengudang ketertarikan para sarjana dari sejak masanya hingga sekarang bahkan untuk melakukan diskusi dan kajian atas tindakan Al-Ghazali. Pelbagai asumsi dihasilkan dari pemikir sarjana modern, mulai dari usulan Pater Jabre yang mengatakan bahwa Al-Ghazali mengalami ketakutan akan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Bathiniyah. Bahkan Al-Baqari mengatakan bahwa Al-Ghazali tengah mencari kemasyhuran dan kesucian jenis lain sebagai pembaharu religius. Di lain tokoh, McCarthy berpendapat bahwa cerita Al-Ghazali sendiri adalah motif untuk pengalihan ke Sufisme.
Al-Ghazali melakaukan pengasingannya pertama kali di Masjid Umayyah di Damaskus. Di sini pula mempertemukannya dengan seorang guru sufi di kota Damaskus yang bernama Abu’l Fath Nashr ibn Ibrahim Al-Maqdisi Al-Nnabulusi (w. 490/ 1097), yang juga merupakan seorang sarjana terkemuka bermazhab Syafi’i di Syiria. [26] Namun ketika Al-Ghazali melakukan perjalanan ke Yerusalem dan Mekkah untuk menjalankan haji dan setiba kepulangnya lagi ke Damaskus, ia mendapati Syaikh Nashr baru saja meninggal dunia. Tinggal untuk beberapa lama, lalu kemudian ia pun kembali lagi ke Baghdad pada Jumada II 490/ Juni 1097.
Selama di Baghdad Al-Ghazali tidak menjalankan aktivitas spritualnya seperti biasa karena masalah keluarga dan ganguan yang lain. Keresahan ini pun akhirnya membuat ia meninggalkan Baghdad dan kembali ke Thus pada 492/1099 hingga ajal menjemputnya.





Perjalan Al-Ghazali dari masa ke masa[27]
445/1053
Awal terjadinya penyiksaan terhadap kaum Asy’ari di Khorasan. Al-Juwaini pindah ke Hijaz; Abu I-Qasim al-Qushayri disandera di Nishapur, ibukota Khorasan.
Sekitar 448/1056
Al-Ghazali lahir di Tabaran.
455/1063
Kematian Sultan Toghril-Bey dan membuat masalah penyikasaan terhadap kaum Asy’ari pun berakhir. Kemudian Al-Juwaini pun kembali ke Nishapur dan menjadi kepala sekolah di Nizamiyya Madarasah karena pengganti dari Sultan Toghril-Bey adalah Nizam al-Mulk adalah pengikut paham Asy’ari.
Sekitar 461/1069
Di usia 3 tahun Al-Ghazali terjun ke dalam lautan pengetahuan agama. Setelah belajar dengan guru setempat di Thus, dia kemudian masuk ke sekolah Nizamiyya di Nashapur dan belajar dengan Al-Juwaini.
465/1072
Anak Maliksha menjadi sultan (Nizam al-Mulk). Ketika masa ini, Al-Ghazali dikirim sebuah surat untuk bergabung ke pemerintahan Maliksha.
Sekitar 473/1080
Al-Ghazali menyusun buku pertamanya, al-Mankhul
478/1085
Al-Juwaini meninggal di Nishapur. Al-Ghazali bergabung ke dalam kelompok Mu’askar dari Nizam Al-Mulk. Dari sini, Al-Ghazali menghabiskan sebagaian besar waktnya di Saljuk ibukota Isfahan.
Jumada 1 484/July 1091
Al-Ghazali tiba di Baghdad setelah dari Isfahan untuk mengajar di sekolah Nizamiyya.
Ramadhan 485/oktober 1092
Kelompok Nizam al-Mulk melakukan perjalanan antara Isfahan dan Baghdad
Syawal 485/November 1092
Kematian Malikshah di Baghdad. Al-Ghazali diminta untuk melakukan negoisasi dengan Terken Khatun untuk mengangkat kedua anak Malikshah, yakni Berk-Yaruq dan Mahmud (keduanya saudara tiri), siapa yang akan menjadi penerus dari Malikshah untuk ditunjuk sebagai Sultan.
Muharram 487/ Februari 1094
Kematian Mahmud dan Ibunya, Terken Khatun akhirnya mengangkat Berk-Yaruq sebagai Sultan dari Dinasti Saljuk.
Muharram 488/Faberuari 1095
Al-Ghazali menyelesaikan karyanya yang berjudul kerancuan para filosof (Tahaful al-Falasifah)
Dzulhijah 488/ November 1095
Al-Ghazali tiba-tiba mengundurkan diri dari sekolah Nizamiyya, meninggalkan Baghdad menuju ke Damaskus
Musim panas 489/1096
Al-Ghazali melakukan perjalanan dari Damskus ke Yerusalem
Dzulhijah 489/Oktober-November 1096
Al-Ghazali mengunjungi Hebron untuk ziarah ke makam nabi Ibrahim. Kemudian dar Hebron ia melanjutkan ke Mekkah untuk naik haji.
Dzulhijah 489/November-Desember 1096
Ziarah ke Mekkah dan kemudian ke Madina
Muhamrram 490/Januari 1097
Al-Ghazali kembali ke Damaskus, guru Sufinya Abu’I Fath Nashr baru saja meninggal dunia. Dia tinggal untuk beberapa bulan saja dan kemudian kembali lagi ke Baghdad
Jumada II 490/Mei-Juni 1097
Al-Ghazali tiba di Baghdad.
490/1097
Berk-Yaruq mengangkat saudara tirinya Sanjar sebagai gubernur dari Khorosan. Dia memerintah di Khorosan sampai beberap tahun hingga akhirnya meninggal pada 552/1157.
Musim gugur 490/1097
Al-Ghazali meninggalkan Baghdad karena Khorosan.
Dzulhijjah 490/ November 1097
Al-Ghazali tiba di Khorasan. Dia membangun sebuah madrasah dan Khanaqah di Tabaran, Thus. Dimana ia mengajar banyak pelajar
497/1104
Berk-Yaruq membentuk ekpansi wilayah dengan menugaskan Muhammad Tapar dan Sanjar. Muhammad Tapar di wilayah Persia, Jazira, Syiria dan sementara Sanjar di Khorasan, daerah-daerah yang masih tersisa.
489/1105
Berk-Yaruq meninggal. Muhammad Tapar menjadi Sultan di Isfahan. Sanjar tetap menghabsikan sisa pemerintahannya sebagai gubernur di Khorasan.
Musim panas 499/1106
Al-Ghazali mulai mengajar di sekolah Nizamiyya di Nishapur di bawah kendali pemerintahan Sanjar atas permintaan Fakhr al-Mulk.
Muharram 500/ Sepetember 1106
Ismailliyah menyerang kelompok Fakhr al-Mulk
Sekitar 502/ 1109
Al-Ghazali menyusun sebuah karya Nasihat al-muluk
Musim gugur 504/1110
Al-Ghazali melakukan pengasingan diri selama kurang lebih 13 tahun.
14 Jumada II 505/ 18 Desember 1111
Al-Ghazali meninggal di biara sufinya (Khanaqah)


D.    Pemikiran Al-Ghazali
Al-Ghazali merupakan tokoh besar dalam sejarah reaksi Islam terhadap Neo-Platonisme. Selain dianggap sebagai bagian dari filosof, ia juga sebagai ahli hukum, teolog, dan sufi. Dalam Autobiografi Al-Ghazali menceritakan bahwa ia diliputi oleh hasrat yang sangat kuat akan kebenaran, tapi ia pun tidak bisa memungkiri bahwasannya telah mengalami kegelisahan akibat munculnya konflik keyakinan dan kepercayaan dan kejumudan terhadap sikap taklid orang-orang awam yang tunduk secara buta kepada otoritas-otoritas terdahulu mereka. Karena itu ia pun memutuskan untuk mencari pengetahun yang pasti yang didefinisikan sebagai suatu pengetahuan dimana objek diketahui dalam suatu cara yang sama sekali tidak membuka peluang keraguan untuk masuk.[28] Ketika mencari pengetahun seperti itu, Al-Ghazali pun menyimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang cocok dengan tuntutan ini adalah pengetahuan indera dan pengetahuan tentang proposisi yang terbukti dengan sendirinya. Namun sayang, pada ujung pencarian itu dengan segala tanduk keraguan yang bergentayang di dalam dirinya, ia kembali disadarkan bahwa pengetahuan seperti itu tidak ada.
Mengapa Al-Ghazali menganggap bahwa pengetahuan indera itu meragukan? Dalam kasus yang pertama, indera kita sering memutuskan bahwa objek itu begini dan begitu, tetapi keputusan itu ditumbangkan oleh akal. Sebagai contoh, kita memandang bayangan dan menyimpulkan bahwa bayangan itu tidak bergerak, namun setelah beberapa waktu kemudian kita terpaksa mengubah persepsi itu karena ternyata bayangan itu bergerak. Seolah kita terpaksa untuk mengakui hal demikian. Lalu contoh lainnya adalah ketika kita melihat sebuah objek yang jauh sepert planet, yang nampak oleh mata kita adalah hanya sebuah ukuran yang sebesar uang logam, padahal pembuktian yang dilakukan oleh Astronomis memaksa kita percaya bahwa planet-planet itu pada kenyataanya beberapa kali lebih besar ketimbang bumi.
Jika pengalaman indera tidak dapat dipercaya, seperti pada kasus di atas, maka berdasarkan analogi pengetahuan, proposisi-proposisi atau aksioma-aksioma juag tidak dapat dipercaya. Selain itu akal pun akan meragukan hal demikian. Oleh sebab itulah mengapa Al-Ghazali mengakui bahwa otoritas akal tidak sepenuhnya bisa menjamin hal kebenaran mutlak untuk diterima. Imbasnya adalah akal dan indera pun tidak saling bekerja sama.
Serangan Al-Ghazali yang ditujukan kepada dua tokoh Neoplatonisme Muslim terkemukan itu (Al-Farabi dan Ibn Sina) secara langsung dan secara tidak langsung terhadap Aristoteles adalah mengenai enam belas proposisi (pernyataan) metafisik dan empat proposisi fisika yang mempunyai kaitan erat dengan agama dan dimana seorang Mukmin mesti diingatkan. Dalam proposisi-proposisi itu ada tiga hal yang menurutnya menyalahi jika dilihat dari pandangan agama sehingga apabila ada orang yang membenarkannya akan dikatakan murtad.
Apakah salah satu proposisi itu? alah satu dari proposisi itu adalah tentang keabadian dunia a parte ante, pengetahuan Tuhan hanya atas hal-hal yang universal dan penolakan terhadap terhadap kebangkitan jasmani. [29] Pandangan-pandangan para filosof terhadap keabadian dunia dinyatakan oleh Al-Ghazali dalam tiga bagian: pertama, pandangan mayoritas yang luas, purbakal maupun modern yang mempercayainya sebagai abadi; kedua, pandangan Plato yang mempertahankan bahwa dunia diciptakan dalam waktu.[30] Dan pandangan Galen yang menunda keputusan dalam pokok soal ini.[31]
Dalam sanggahannya terhadap kaum eternalis, Al-Ghazali menyatakan bahwa dunia diciptakan dalam waktu melalui suatu keputusan Tuhan yang abadi. Dalam kaitan ini ia menolak tuntutan bawa selang waktu yang memisahkan keputusan yang abadi. Tuhan dengan penciptaan dunia memasukan anggapan bahwa Tuhan tidak dapat menyelesaikan penciptaan sekaligus. Tuntutan ini menurut Al-Ghazali tidak bersandar pada dasar-dasar demonstratif, melainkan hanya semata-mata merupakan sebuah dogmatis.[32]
Dalam sanggahanya terhadap Ibn Sina yang beragumen bahwa Tuhan mendahului dunia dalam esensi, ketimbang dalam waktu. Al-Ghazali mengambil sebuah keputusan yang kuat dan tegas dalam mendukung penciptaan dalam waktu. Ketika kita mengatakan bahwa Tuhan mendahului dunia, itu artinya bahwa Tuhan itu ada sementara dunia tidak ada, dan terus ada bersama dengan dunia. Apa yang dinyatakan dalam dua proposisi ini adalah eksistensi sebuah entitas (Tuhan) yang diikuti oleh kedua entitas bersama-sama. [33] Penggambaran mengenai wktu hanya sebuah permainan imajinasi yang mengharuskan kita menggambarkan kedua entitas itu terjalin erat melalui waktu (Tertium quid).

a.      Bentuk dan sifat Realitas
Menurut Al-Ghazali dari semua realitas yang ada, secara bentuk ada dua bagian yakni; empirik atau alam inderawi (‘alam al-syahadah) dan metafisik atau alam tidak kasat mata (‘alam al-malakut atau ‘alam al-ghaib).[34] Bentuk realitas ini tidak sama dan tidak pula sederajat, tetapi berbeda dan berjenjang secara hierarkis. Kita bisa membandingkan antara dua alam ini seperti kulit dengan isinya, bentuk luar sesuatu dengan ruhnya, kegelapan dengan cahaya, atau kerendahan dengan ketinggian. Alam malakut disebut alam atas, alam ruhani, dan alam nurani, sementara alm syahadah adalah alam bawah, alam jasmani, dan alam gelap.[35]
Alam realitas yang ada ini menurut Al-Ghazali tersusun secara hierarkis sebagaimana hierarki cahaya di atas, dimana cahaya yang paling dekat dengan sumber cahaya pertama dinilai akan lebih utama dan sempurna dibandingkan cahaya di bawahnya. Dimulai dari alam indera yang merupakan realitas paling bawah dan rendah, naik pada alam ghaib pertama, kedua hingga seterusnya hingga menuju pada alam ghaib pertama yakni Tuhan.
Lalu kemudian dengan alam ghaib (metafisik) disebut juga sebagai alam ilahiyah. Meski tidak bisa ditangkap oleh indera, menurut Al-Ghazali  alam itu bisa disaksikan dengan mata hati (al-bhasirah) yang telah tersucikan. Ketidakmampuan itu pun disebabkan oleh kelemahan pada diri seseorang dimana mata indera tidak mampu melakukan sesuatu yang di luar dirinya. Nah, di sinilah mata hati berperan sebagai pemilik pengetahuan dan kemampuan membaca di luar dirinya. Mata indera tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat dan terlalu jauh, sementara mata hati tidak ada mempermasalahkan hal itu, jauh dan dekat sama saja. Ketiga, mata indera tidak dapat menembus sesuatu yang terhijab, sedangkan mata hati dapat menembus itu. Keempat, mata indera hanya dapat menangkap hal-hal bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalam atau hakikatnya. Berbeda dengan mata hati yang dapat menerobos bagian dalam tersebut sekaligus menembus rahasia-rahasi, mengungkap suatu hakikat, menyimpulkan sebab-akibat dan sifat-sifatnya. Dan terakhir, mata indera hanya mampu menangkap sebagian kecil dari realitas. Ia tidak dapat menangkap sesuatu yang terjangkau nalar dan perasaan  atau bisa dikatakan bahwa mata indera hanya bisa menerima jangkauan pada alam warna dan bentuk saja, yaitu sesuatu yang menjadi realitas terendah.[36]
Dari segi sifat, realitas juga dibagi menjadi dua yaitu; aktual dan potensial. Wujud aktual adalah segala realitas yang mempunyai eksistensi di luar mental atau persepsi manusia. Ia hanya memiliki hakikat pada dirinya sendiri.[37] Realitas ini mencakup semua partikular, baik yang sensual (mahsusat), yaitu segala materi yang dengan segala sifat fisiknya, seperti bentuk, warna, ukuran dan maupun yang partikular non-sensual (ghair al-mahsusat), yaitu segala sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri yang diketahui secara a priori seperti potensi panca indera, kemampuan, akal dan seterusnya. [38]
Berikutnya adalah wujud potensial adalah segala realitas yang eksistensinya hanya ada dalam mental dan pikiran. Wujud terbagi dalam tiga bagian yaitu; wujud al-hissi, wujud al-khayali, dan wujud al-aqli. Wujud al-hissi adalah sesuatu dalam potensi indera sebagai sense datum, yaitu hasil persepsi langsung dari indera terhadap objek dan peanmpakan dunia luar pada indera yang bukan merupakan substansi objek yang sesungguhnya, melainkan hanya halusinasi, seperti apa yang dilihat oleh orang yang sakit dan orang tidur. Kemudian  wujud al-khayali adalah gambar sebuah objek yang ada dalam potensi khayal (common sense). Data yang terinternalisasi dalam mental dan disimpan dalam potensi memori seseorang. Dan terakhir, wujud al-aqli ialah makna abstrak yang ditangkap oleh rasio dari sebuah objek berdasarkan sense data (gabungan yang pertama dan kedua), tetapi terlepas dari pengaruh indera dan khayal sendiri, seperti pemahaman bahwa hakikat manusia adalah hewan berpikir. Menurut Saiful Anwar[39] konsep Al-Ghazali tentang wujud aktual dan potensial disadur dari pemikiran Al-Farabi dan Ibn Sina.
Dalam kaitanya dengan Ontologi, wujud aktual dan potensial berhubungan dengan kontengensi dan necessitas. Menurut Al-Ghazali tidak jauh dari pemikirannya Al-Farabi bahwa wujud aktual adalah sesuatu yang telah ada secara konkret, nyata yang disebut necessitas (wujud al-wujud). Sementara wujud potensial adalah sesuatu yang masih ada dalam konsep atau ide dan siap untuk menjadi wujud konkret yang mengenal ruang dan waktu. Namun wujud potensial ini masih dalam posisi mumkin al-wujud (kontengensi), yang kemungkinan adanya lebih kuat dari tidak adanya sehingga ia akan tetap dalam kondisi seperti itu sebelum berubah menjadi realitas yang aktual.[40]

b.      Partikular dan Universal
Dari segi kuantitas, realitas dibagi dalam dua kelompok yaitu; partikular (Juz’iyyat) dan universal (kulliyyat). Partikular adalah wujud rinci yang diklasifikasikan berdasarkan  atas 10 kategori Aristoteles: subtansi, aksiden, kuantitas, kualitas, relasi, di mana, kapan, postur, posesi, aksi, dan passi.[41] Kaum neo-platonis menolak konsep ini, sedangkan Al-Ghazali menerima karena menurutnya berdasarkan argumen rasional, 10 kategori itu benar-beanr realitas objektif yang dapat diketahui oleh akal maupun indera, dan tidak satu pun walam wujud ini yang tidak tercakup di dalamnya. [42] Karena itu tidak ada objek pengetahuan yang tidak masuk akal ketika dihubungkan dengan 10 kategori tersebut dan tidak ada kata atau benda, kecuali dengan menunjuk salah satunya.
Adapun realitas universal, Al-Ghazali membaginya dalam dua bagian, yakni universal esensial (Dzati) yang mencakup genus (Jins), spesies (Nau) dan differense (Fashl). Dan kemudian universal aksidental (‘aradh), baik yang khusus seperti manusia tertawa atau yang umum seperti sifat bergerak pada materi.[43]
Universal esensial adalah makna abstrak tanpa melihat atribut-atribut luar yang menyertainya, sedangkan universal aksidental adalah konsep abstrak yang merupakan generalisasi dari kesamaan-kesamaan dari partikular-partikular itu. Untuk dapat membedakan keduanya adalah dengan melihat konsep mental sekaligus dalam realitas aktual, yaitu bahwa esensi dari universalisme adalah benar-benar wujud alam realitas, sementara dalam realitas aktual, karena tidak mungkin sesuatu yang satu menjadi atribut bagi berbagai partikular yang lain dalam waktu yang bersamaan.[44]
Dengan konsep partikular dan universal ini, Al-Ghazali dan juga Al-Farabi sesungguhnya dianggap sebagai realis baru yang Platonik-Aristotelian, tetapi tidak Aristotelian dan tidak Platonik. Al-Ghazali tidak disebut sebagai Aristotelian karena masih menerima adanay alam ghaib sebagai realitas objektif metafisis, yang dimana tidak dikenal oleh Aristoteles, dan juga tidak disebut Platonik karena Al-Ghazali masih menganggap adanya subtansi partikular, dimana sesuatu yang tidak diketahui oleh Plato. Dalam keilmuwan, Al-Ghazali tidak hanya menggunakan konsep ini dalam bidang metafisis saja, tetapi juga menjadikannya sebagai landasan bagi hierarki ilmu dan prinsip-prinsip Yurisprudensi (Ushul fiqh)  yang digagasnya, yang kemudian dikembangkan oleh lebih jauh oleh Al-Syathibi (1336-1388) dalam karyanya al-Muwafaqat.

c.       Epistimologi
Gagasan Al-Ghazali tentang pengetahuan dan segala yang berkaitan dengan pemikirannya tentang realitas yang bersifat hierarkis. Pengetahuan menurut Al-Ghazali bersumber pada tiga hal yaitu;  intuisi, wahyu dan rasio. Pada dasarnya ketiga sumber pengetahuan ini adalah satu kesatuan, akan tetapi ada pembeda dari ketiganya dalam segi kualitas sehingga pada satu sisi membentuk hierarkisnya masing-masing. Pengetahuan melalui intuisi dinilai lebih jelas dibandingkan dengan pengetahuan berdasarkan wahyu dan rasio. Perbandingan antara intuisi di satu sisi dengan wahyu dan rasio di sisi lain adalah sama dengan orang yang menyaksikan bulan purnama secara langsung dengan orang yang melihatnya melalui bayangannya di dalam air.
Al-Ghazali membagi ilmu dalam lima hierarkis; Pertama kategori fardhu ‘ain yaitu ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh setiap orang Islam, tidak boleh tidak demi kebaikan dan keselamatannya dalam dunia akhirat. Ini yang di dalamnya mengacu pada ilmu-ilmu yang mengarahkan pada jalan keselamatan hidup sesudah mati (‘ilm thariq al-akhirah.)[45] meskipun dengan tuntutan yang mesti dipenuhi oleh seseorang terbilang sedikit berat, hal ini tetap didasarkan pada tingkat kebutuhan (jangka panjang dan jangka pendek) dan kemampuan diri sendiri.
Ilmu fardhu ‘ain mencakup tiga hal; 1. i’tiqad (hal-hal yang wajib diimani dan diyakini), 2. ‘amalan (yang harus dikerjakan), dan 3. Larangan (penghindaran diri). [46]
Setelah pembagian di atas, Al-Ghazali kemudian membagi lagi ilmu fardhu ain menjadi dua bagian; yaitu ilmu esoterik (‘ilm al-mukasyafah) dan ilmu ekeksoterik (‘ilm al-mu’amalah).[47] Ilmu mukasyafah adalah ilmu batin yang berusaha menyingkap atau memahami makna-makna yang tersembunyi, seperti makna kenabian, wahyu, malaikat dan seterusnya.[48] Selain itu, karena sifat esoterik, maka pencariannya tidak diwajibkan bagi setiap Muslim, tetapi hanya diberlakukan pada minoritas orang yang layak dan cakap dalam jalan spritual. Dan karena bersifat individual pula, ilmu-ilmu esoterik tidak masuk dalam daftar klasifikasi keilmuwan yang dibuat Al-Ghazali sehingga tidak akan ditemukan bentuk heirarkinya.
Ilmu mu’amalah merupakan ilmu yang mengatur praktek-praktek kebaktian (‘ibadah) yang di dalamnya terdapat doktrin dan praktik yang sekaligus berjalan. Ilmu yang berkaitan dengan doktrin di sini adalah ilmu yang berhubungan dengan rukun iman yang menjadi dasar dari iman dan doktrin fundamental yang diturunkan darinya. Ilmu ini dijalankan dan dicari karena sebagai penyelamat jiwa yang dapat menuntun seseorang menuju kebahagian di hari kelak. Sementara itu, ilmu praktek kebaktian yang berhubungan dengan praktek religius merupakan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan rukun islam dan hal-hal yang diwajibkan kepada manusia atas jiwanya sendiri.
Fardhu kifayah yakni ilmu yang sama sekali tidak boleh diabaikan oleh seorang muslim dalam upaya penegakan uruisan duniawi seperti fiqih (yurisprudensi) dan kedokteran.[49] Ilmu-ilmu tersebut jika tidak dimiliki seseorang akan membuat masyarakat mengalami kesulitan, sementara jika sudah dimiliki dan dikuasai oleh sebagian orang, maka kewajiban bagi yang lainnya menjadi gugur. Menurut Al-Ghazali, pengetahuan yang masuk dalam kategori fardhu kifayah merupakan ilmu yang justru dicari hanya dalam suatu batas tertentu, yaitu batas kecukupan. Dalam rumusan Al-Ghazali[50] karena batasan setiap orang itu berbeda-beda menurut disiplin ilmu yang dimilikinya, dan kebutuhan masyarakat yang berubah-ubah ikut membuat batasan itu terjadi. Batasan dalam ilmu fardhu kifayah itu mencakup 3 hal; pertama, ilmu fardhu kifayah tidak boleh dipelajari melebihi batas yang dipelajari dalam ilmu fardhu ‘ain. Artinya, orang yang belajar ilmu fardhu kifayah harus senantiasa menjaga keunggulan dan prioritas ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardhu ‘ain. Kedua, orang yang mendalami ilmu fardhu kifayah harus benar-benar mengalami kemajuan  bertahap dalam prose belajarnya atas ilmu-ilmu yang dikategori di dalamnya. Dan ketiga, orang harus menahan diri apabila ilmu itu telah dipelajari oleh orang lain dalam jumlah yang cukup.
Dalam memperoleh ilmu menurut Al-Ghazali[51] terdiri atas tiga tingkatan, yaitu terbatas (iqtishar), cukup (iqtishad), dan tingkat lanjut (istiqsha’). Ilmu-ilmu yang ada dalam kategori fardhu kifayah tidak boleh dikejar hingga keluar dari batas dua derajat yang pertama.
Selan itu, Al-Ghazali juga membagi ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori fardhu kifayah, di antaranya adalah ushl (pokok), furu’ (cabang), muqaddimah (prasarana) dan mutammimat (pelengkap). [52] ilmu yang masuk dalam kategori ushl adalah ilmu tafsir, hadis, ijma, dan atsar sahabat. Kemudian yang masuk dalam furu adalah ilmu-ilmu yang menjadi bagian dari kategori ushl, tetapi tidak bisa dipahami secara langsung (tekstual), tetapi melalui fungsi akal untuk mencernanya. Setelah furu, muqaddimat merupakan ilmu bahasa dan nahwu yang digunakan untuk memahami kitab Allah, Al-Qur’an. Semenatara yang masuk dalam kategori mutammimat yakni ilmu pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, ‘am dan khas, ilmu taentang para periwayat hadis dan sejenisnya.[53]
Selain yang sudah disebutkan di atas, Al-Ghazali menyebutkan beberapa ilmu yang secara eksplisit masuk dalam kategori fardhu kifayah. Ilmu-ilmu seperti ilmu kedokteran (al-thib), aritmatika (al-hisab), politik, (al-siyasah), logika (mantiq), ilmu teologi (‘ilm al-kalam), dan metafisika. Berarapa ilmu keterampilan lainnya juga ikut masuk dalam fardhu kifayah seperti pertanian (al-fallahah), tekstil (al-hikayah), dan desain (al-khiyayah).[54]
Ketiga, ilmu-ilmu dalam kategori fadhilah (mengandung keutamaan) tetapi tidak mencapai tingkat fardhu. Misalnya spesialis aritmatika, yang jarang sekali diperlukan  tapi sangat bermanfaat dan memperkuat kdar yang diperlukan.[55]
Keempat pengetahun dalam kategori netral, tidak dilarang (mubah). Misalnya menggubah syair-syair sepanjnag tidak menggunakan kata-kata vulgar atau tidak senonoh dan lain sebagainya.
Kategori yang kelima adalah pengetahuan tercela (madzmumah). Menurut Al-Ghazali[56] ilmu pada dasarnya tidak ada yang tercela, tetapi bisa terjadi tercela apabila sudah dikaitkan dengan manusia karena ada sebab-sebab berikut; pertama, ilmu tersebutb menyebabkan kerusakan, baik bagi orang lain maupun diri sendiri. Kedua, pengetahun dianggap tercela apabila bahaya yang ditimbulkan lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang ditimbulkannya. Misalnya, horoskop. Ketiga, ilmu dianggap tercela apabila pencariannya pengetahuan itu tidak memberikan peningkatan apa-apa setelah mempelajari dan mempraktekannya sehingga apa yang kita lakukan tidak terbilang sia-sia.






DAFTAR PUSTAKA
Griffel, Frank. 2009. Al-Ghazali’s Philosophical Theology. New York: Oxford University Press.
Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Terj. Bandung: Mizan.
Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam. Terj. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sholeh, Khudori. 2013. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.





[1] Nama aslinya hanya Muhammad. Nama Abu Hamid diberikan kemudian setelah ia mempunyai putra Hamid yang meninggal ketika masih bayi. Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, Terj. Johan Smit (Bandung;Pustaka, 1987), hlm. 20.
[2] M. Smith, Al-Ghazali the Mystic, hlm. 11
[3] R. J. McCarthy , Life of al-Ghazali-nya Al-Farisi, op. Cit, hlm. XV
[4] Syarif (ed), History of Muslim Philosophy (Waisbaden: Otto Harrasowis, 1963) hlm. 583; Saiful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 52.
[5] Untuk pembahasan tentang keotentikan karya ini, yang telah disuting oleh Muhammad Hasan Hitu dan diterbitkan (Damaskus, 1390/1970), lihat M. Bouyges, Essai de Chronologie des Oeuvres de al-Ghazali, Imprimerie Catholique, Beyrouth (1959, hlm. 8-9.
[6] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, Terj, Purwanto (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 181.
[7] Al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, IV (Kairo: Maktabah al-Mishriya, 1906) hlm. 103.
[8] J.J Saunders, A History of Medieval Islam (London:Routledege, 1980), hlm. 151.
[9] Osman Bakar, Hierarki Ilmu..., hlm. 180
[10] Dalam Munqidz intuisi intelektual dilambangkan oleh cahaya yang dipancarkan ke dalam dada manusia. Lihat al-Munqidz , hlm. 67.
[11] Khudori Soleh (Terj, dan Pengantar), Skeptisme al-Ghazali (Malang: UPN Press 2010)
[12] Kunci kepada bagian yang lebih besar dari pengetahuan, kata Al-Ghazali adalah cahaya yang ditanamkan Tuhan ke dalam dada manusia.
[13] ibid
[14] Saiful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hlm. 69.
[15] Karya ini dialihbahasakan ke dalam bahasa latin oleh Dominicus Gundissalinus dengan judul Logica et Philosophia Algazelis Arabis, dan ke dalam bahasa Ibrani dalam dua versi, pertama oleh Issac Albalag adab ke-13 dengan judul De’ot ha-Pilusufim, dan kedua oleh Judah Nathan abad berikutnya dengan judul Kawwanot ha-Pilusufim. Terdapat pula terjemahan Jerman untuk dua bab pertama karya itu oleh G. Beer, yang didasarkan pada edisi kritisnya sendiri. Lihat Maqashid, Leipziq, 1888.
[16] Lihat M. Bouyges, op. Cit, hlm. 24; G. F. Hourani, op. Cit, hlm. 227.
[17] Tanggal ini dicatat dalam naskah karya tersebut yang ditemukan di Istanbul
[18] S. H. Nasr Islamic Life  and Thought, hlm. 38.
[19] S. H. Nasr, op, cit, hlm. 71; lihat juga Munqidz, bag. 61, hlm. 81-82.
[20] S. H. Nasr , Three Muslim Sages, hlm. 55.
[21] Lihat Incoherence of the philosophy (Kerancuan para Filosof), terj. S. A. Kamali, Pakistan, Philosophical Congress, Lahore, 1963, hlm. 5. Juga Muqashid, par. 34, hlm. 72. Kutipan-kutipan The Incoherence selanjutnya berasal dari terjemahan Kamali.
[22] Al-Munqidz , par 81, hlm. 90.
[23] Saya telah mendengar dari Nasr bahwa Ahmad kemungkinan besar adalah salah satu seorang guru Al-Ghazali dan Sufisme.
[24] Al-Munqidz, par 83, hlm. 90.
[25] Ibid, par 84, hlm. 90.
[26] Lihat A. L Thibawi, Arabic and Islamic Themes, London , 1970, hlm. 203-208, dimana dia merujuk pada berbagi sumber tradisional tempat Al-Ghazali dipertemukan dengan seorang tokoh sufi itu.
[27] Frank Griffel, Al-Ghazali’s Philosophical Theology, hlm. XI-XII
[28] Al-Munqidz min al-dhalal, hlm. 11
[29] Tahafut al-Falasifah, hlm. 376, dan al-Munqidz, hlm. 23-14
[30] Tahafut al-Falasifah, hlm. 21-22. Pandangan Plato dilaporkan dengan catatan bahwa beberapa orang telah meragukan bahwa ia benar-benar percaya akan hal itu. Dari para penafsir Yunani tentang Plato, Aristoteles (Fisika, 251 b 17; De Caelo 280a30), memahami apa yang dimaksud Plato dalam Timaeus 28B bahwa baik alam semesta maupun waktu diciptakan bersama-sama. Xenocrates di pihak lain, seperti kaum Platonik dan Neo-Platonik pada umumnya Plato memahami Plato sebagai menyatakan secara tidak langsung keabadian alam semesta, tetapi menggunakan bahasa metaforis pembuatan temporal. Lihat Taylor, Plato, hlm. 442-443.
[31] Pandangan Galen dikatakan telah dikemukakan dalam karyanya Apa yang Galen yakini. Band. Tahafut. Hlm. 21 dan I. D. Al-Razi, al-Muhashshal, hlm. 86.
[32] Tahafut ak-Falasifah, hlm. 29-30.
[33] Tahafut al-Falasifah, hlm. 53
[34] Al-Ghazali , Misykat al-Anwar, dalam Majmu’ah Rasail (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), hlm. 273.
[35] Ibid, hlm. 274
[36] Ibid, hlm. 271
[37] Al-Ghazali, Mihak al-Nazhar fi al-Manthiq (Beirut: Dar al-Nahdhah, 1996), hlm. 120.
[38] Al-Ghazali, Mi’yar al-Ilm, (ed) Sulaiman Dunya (Mesir: Dar al-Marifat, t. th) hlm. 89-90
[39] Saiful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali.., hlm. 127
[40] Al-Ghazali , Mi’yar al-‘ilm.., hlm. 343-348
[41] Ibid, hlm. 313
[42] Ibid, hlm. 326
[43] Ibid, hlm. 92-108
[44] Ibid, hlm. 93
[45] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), hlm. 26
[46] Ibid, hlm. 27.
[47] Ibid, hlm. 28.
[48] Ibid
[49] Ibid, hlm. 29.
[50] Ibid, hlm. 29
[51] Ibid
[52] ibid
[53] Ibid, hlm. 29-30.
[54] ibid
[55] ibid
[56] Ibid, hlm. 43
Comments
0 Comments

0 komentar:

Recent Comments

followers

About Me